Matahari Agustus menyengat tak ubahnya sengatan lebah
madu dengan perut membuncit yang bersembunyi di antara sela jati tua. Merengut.
Sudah hampir sebulan sejak akhir Juli, hujan tak menampakkan rinainya apalagi
bercengkerama dengan sinden katak yang merengek-rengek di dalam got. Ah…
gairahku melunglai meniru laku daun kembang seribu yang menguncup karena
tanahnya kering belum disiram waktu siang. Sudah hampir sebulan tak ada kabar
darimu… Tak ada telepon ,sms, email, bahkan tak ada update di jejaring sosial.
Benar-benar menghilang sejak kejadian waktu itu, di pertengahan Juli tatkala
langit biru membungkam menaungi pondokan kecil di lepas pantai.
“Bagaimana Mas? Kenapa diam?
Kuharap kau bisa memberiku kejelasan tentang hubungan kita...Aku tak ingin
begini terus....” Ujarku perlahan memperhatikan roman wajah Mas Anto yang
sedari tadi tanpa ekspresi. Datar. Sesekali dirinya mendongak dari balik
pondokan tak berdinding mengamati dua ekor camar putih yang terbang hilir mudik
mengintai kawanan ikan di tengah laut. Aku sungguh tak tahan dengan sikapnya.
Mungkin egoku sebagai perempuan yang membuatku begitu. Nyatanya, aku turut
membungkam dan menyimpan kegelisahan di hatiku. Berusaha mengikuti plot yang
didramatisir oleh sikapnya. Lima menit sudah... Tiba-tiba, Mas Anto begitu aku
menyapanya menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti? Semacam rahasia
laki-laki dengan kode dan sandi tersembunyi yang tergurat dari bibirnya saat
menyunggingkan seulas senyum. Pria benar-benar sulit dimengerti...
Dirinya duduk di bangku kayu
itu seolah tanpa beban. ” Berapa lama hubungan kita, La?” Sejenak aku heran
dengan pertanyaannya. ” Hampir dua tahun Mas? Kenapa Mas Anto tanyakan itu, aku
tak mengerti?” Ujarku blak-blakan padanya.
”Aku tahu semua ini berat
buatmu...sejak awal bukankah kita sudah tahu konsekuensi dari hubungan kita?
Apapun itu aku tetap ingin yang terbaik untuk hubungan ini...”
Ucapan Mas Anto menyadarkan
diriku, yah..sejak awal bukankah aku sudah tahu hal seperti ini pasti akan
terjadi. Kisah cinta yang dilatarbelakangi perbedaan prinsip kadang tak
selamanya berjalan mulus. Selalu ada pertentangan karena anggapan masing-masing
pihak yang merasa benar. Lalu salahkah cinta jika tak pernah memperdulikan
batas keyakinan dan kebenaran? Aku terhenyak. Menelan ludahku sendiri yang
terasa pahit. Pertanyaan bodoh yang mengusikku, haruskah hubungan yang sudah
dua tahun terjalin itu berakhir?
Tidak, jiwaku yang terlalu rapuh berusaha
berontak. Aku ingin berteriak pada mereka, tak pernah ada cinta yang lain,
selain cintaku pada Mas Anto.... Tak perduli batasan ini itu, tak perduli surga
ataupun neraka yang akan ditawarkan olehnya padaku. Apalah arti semua itu.....
Jiwaku jiwanya seperti kepingan ion yang sudah terjalin sejak lama, tak
terpisahkan lagi. Jika terpisah...jiwa itu akan mati.
Aku tak dapat menahan air
mataku. Kusandarkan segala keresahan itu di pundaknya yang bidang, di bahunya
yang selalu memberiku kebahagiaan. Aku bersandar begitu dekat seolah tak ingin
terlepas, dan tak kuizinkan apapun yang membawa pergi pundak itu dariku. Bahu
bidang yang telah membuatku jatuh cinta dan merasakan arti mencintai dan
dicintai. Sungguh aku tak sanggup...
Kutatap lekat garis-garis wajahnya,
berusaha mencari pembenaran bahwa cintanya sebesar cintaku, dan bahwa dirinya
takkan pernah meninggalkanku demi apapun....bahkan tidak demi keyakinannya.....
egoiskah itu? Lalu, apakah aku akan meninggalkannya demi keluarga dan juga
keyakinanku? Tak ada jawaban.
Ketika surga dan neraka
terbentang, kenapa masing-masing mencari pembenaran tersendiri? Apakah dirinya
akan meninggalkan diriku demi surganya? Atau diriku meninggalkannya demi
surgaku? Pertanyaan bodoh.... Apakah cinta melebihi surga?
”Lalu....?” Seperti butiran
kaca yang berhambur, pernyataan itu pecah. Perlahan namun membahana di antara
langit-langit kesunyian. ”Jika tak pernah ada titik temu di antara kita apakah
hubungan ini harus diakhiri Mas....?” Sesakku terbata. Aku tak sanggup
memandang mata syahdunya yang seolah terkejut oleh pernyataanku.
”Apa itu yang kau inginkan? Kenapa
begitu sulit buatmu untuk mengerti keadaanku? Kenapa kau tak pernah bisa
mengalah, La?”
” Menurutmu apa semua ini
mudah buatku Mas? Lantas kenapa bukan dirimu yang berusaha mengerti keadaanku?
Kau tahu aku tak pernah mungkin bisa mengikuti apa yang kau anut, tak perlu
kujelaskan alasannya karena hanya percuma. Aku tak ingin terlihat sok benar di
matamu ataupun oleh keluargamu itu .......”
”Tak adakah solusi yang lain
bagi hubungan kita selain putus?” Mas Anto bergumam,
seolah bertanya pada dirinya sendiri. “ Jika saling mencintai kenapa perbedaan
harus dipermasalahkan? Bukankah di luar sana
banyak pasangan yang berbeda tapi mereka bisa saling menghargai dan hidup
rukun?”
Aku tak ingin berdebat dengan Mas Anto. Mungkin dirinya benar tapi mungkin juga
salah. Mungkin pula sejak awal hubungan kami suatu kesalahan. Sesuatu yang tak
bisa kujelaskan padanya dengan teori religi yang kuanut, aku terjebak..... pada
cinta pada dosa pada keraguan yang dalam hitungan menit bergerak memuncak.
” Kak Setia menelponku
kemarin, La...”
”Kenapa?” jawabku tak
antusias, kehilangan semangat apalagi aku tahu Kak Setia sepupunya Mas Anto
salah satu yang menentang hubungan kami.
”Dia mengajakku ke Belanda
minggu depan. Ada pertemuan tahunan yayasan dan urusan penting di sana yang tak
bisa ditunda.”
”Berapa lama?”
”Paling cepat sekitar tiga bulan..........” Aku benar-benar membatu sekarang. Mematung di
tangan pemahat yang membiarkanku terlelap. Kata-katanya seperti angin yang seolah tak
terdengar jelas di telingaku. Sayup.
”Selama kepergianku aku akan
tetap memberi kabar seperti biasa dan kuharap pembicaraan kita kali ini
bukanlah akhir. Kau tahu aku sangat cinta padamu La,,, Tolong beri aku waktu
untuk mempertimbangkan segalanya. Please...?”
Ucapan Mas Anto membuatku kembali
menapak. Aku sendiri tak benar-benar yakin jika berpisah dengannya menjadi
sesuatu yang kuinginkan. Mungkin aku harus memberi Mas Anto kesempatan. Segala
sesuatu bisa terjadi dalam waktu tiga bulan bukan? Dirinya juga aku. Dalam
rentang tiga bulan mungkin dapat merubah segalanya juga memberi jawaban pada
cinta kami. Mungkin ...........
********
Hari mulai beranjak sore,
lamunanku tersadar tatkala selembar daun jati tua gugur menerpa pundakku yang
duduk santai di bawah pohonnya. Aku teringat pada kata-kata Mas Anto sebulan
lalu, aku akan tetap memberi kabar La? Buktinya? Baru sebulan sejak keberangkatannya
ke Belanda dia sudah melupakanku... Ironis. Aku tergantung seperti tali jemuran
lusuh di bawah terik. Menanggung sesak karena terlupakan. Oh.....Tuhan.... Tak
dapat kugambarkan rasa itu. Membangkitkan kegilaan yang jika harus disalurkan
dalam bentuk tulisan dapat berupa update status galau atau tweet gila di
komunitas #15HalyangMembuatGalau. Sebulan tanpa kabar dari Mas Anto benar-benar
membuatku GILA! Tak lagi setengah gila.... Jiwaku setengah melayang, mirip
separuh boneka robot yang kehabisan baterai.
********