Minggu, 01 Maret 2015

Resah Agustus


Matahari Agustus menyengat tak ubahnya sengatan lebah madu dengan perut membuncit yang bersembunyi di antara sela jati tua. Merengut. Sudah hampir sebulan sejak akhir Juli, hujan tak menampakkan rinainya apalagi bercengkerama dengan sinden katak yang merengek-rengek di dalam got. Ah… gairahku melunglai meniru laku daun kembang seribu yang menguncup karena tanahnya kering belum disiram waktu siang. Sudah hampir sebulan tak ada kabar darimu… Tak ada telepon ,sms, email, bahkan tak ada update di jejaring sosial. Benar-benar menghilang sejak kejadian waktu itu, di pertengahan Juli tatkala langit biru membungkam menaungi pondokan kecil di lepas pantai.

“Bagaimana Mas? Kenapa diam? Kuharap kau bisa memberiku kejelasan tentang hubungan kita...Aku tak ingin begini terus....” Ujarku perlahan memperhatikan roman wajah Mas Anto yang sedari tadi tanpa ekspresi. Datar. Sesekali dirinya mendongak dari balik pondokan tak berdinding mengamati dua ekor camar putih yang terbang hilir mudik mengintai kawanan ikan di tengah laut. Aku sungguh tak tahan dengan sikapnya. Mungkin egoku sebagai perempuan yang membuatku begitu. Nyatanya, aku turut membungkam dan menyimpan kegelisahan di hatiku. Berusaha mengikuti plot yang didramatisir oleh sikapnya. Lima menit sudah... Tiba-tiba, Mas Anto begitu aku menyapanya menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti? Semacam rahasia laki-laki dengan kode dan sandi tersembunyi yang tergurat dari bibirnya saat menyunggingkan seulas senyum. Pria benar-benar sulit dimengerti...

Dirinya duduk di bangku kayu itu seolah tanpa beban. ” Berapa lama hubungan kita, La?” Sejenak aku heran dengan pertanyaannya. ” Hampir dua tahun Mas? Kenapa Mas Anto tanyakan itu, aku tak mengerti?” Ujarku blak-blakan padanya.

”Aku tahu semua ini berat buatmu...sejak awal bukankah kita sudah tahu konsekuensi dari hubungan kita? Apapun itu aku tetap ingin yang terbaik untuk hubungan ini...”

Ucapan Mas Anto menyadarkan diriku, yah..sejak awal bukankah aku sudah tahu hal seperti ini pasti akan terjadi. Kisah cinta yang dilatarbelakangi perbedaan prinsip kadang tak selamanya berjalan mulus. Selalu ada pertentangan karena anggapan masing-masing pihak yang merasa benar. Lalu salahkah cinta jika tak pernah memperdulikan batas keyakinan dan kebenaran? Aku terhenyak. Menelan ludahku sendiri yang terasa pahit. Pertanyaan bodoh yang mengusikku, haruskah hubungan yang sudah dua tahun terjalin itu berakhir? 

Tidak, jiwaku yang terlalu rapuh berusaha berontak. Aku ingin berteriak pada mereka, tak pernah ada cinta yang lain, selain cintaku pada Mas Anto.... Tak perduli batasan ini itu, tak perduli surga ataupun neraka yang akan ditawarkan olehnya padaku. Apalah arti semua itu..... Jiwaku jiwanya seperti kepingan ion yang sudah terjalin sejak lama, tak terpisahkan lagi. Jika terpisah...jiwa itu akan mati.

Aku tak dapat menahan air mataku. Kusandarkan segala keresahan itu di pundaknya yang bidang, di bahunya yang selalu memberiku kebahagiaan. Aku bersandar begitu dekat seolah tak ingin terlepas, dan tak kuizinkan apapun yang membawa pergi pundak itu dariku. Bahu bidang yang telah membuatku jatuh cinta dan merasakan arti mencintai dan dicintai. Sungguh aku tak sanggup... 

Kutatap lekat garis-garis wajahnya, berusaha mencari pembenaran bahwa cintanya sebesar cintaku, dan bahwa dirinya takkan pernah meninggalkanku demi apapun....bahkan tidak demi keyakinannya..... egoiskah itu? Lalu, apakah aku akan meninggalkannya demi keluarga dan juga keyakinanku? Tak ada jawaban.

Ketika surga dan neraka terbentang, kenapa masing-masing mencari pembenaran tersendiri? Apakah dirinya akan meninggalkan diriku demi surganya? Atau diriku meninggalkannya demi surgaku? Pertanyaan bodoh.... Apakah cinta melebihi surga?

”Lalu....?” Seperti butiran kaca yang berhambur, pernyataan itu pecah. Perlahan namun membahana di antara langit-langit kesunyian. ”Jika tak pernah ada titik temu di antara kita apakah hubungan ini harus diakhiri Mas....?” Sesakku terbata. Aku tak sanggup memandang mata syahdunya yang seolah terkejut oleh pernyataanku.

”Apa itu yang kau inginkan? Kenapa begitu sulit buatmu untuk mengerti keadaanku? Kenapa kau tak pernah bisa mengalah, La?”

” Menurutmu apa semua ini mudah buatku Mas? Lantas kenapa bukan dirimu yang berusaha mengerti keadaanku? Kau tahu aku tak pernah mungkin bisa mengikuti apa yang kau anut, tak perlu kujelaskan alasannya karena hanya percuma. Aku tak ingin terlihat sok benar di matamu ataupun oleh keluargamu itu .......”

”Tak adakah solusi yang lain bagi hubungan kita selain putus?” Mas Anto bergumam, seolah bertanya pada dirinya sendiri. “ Jika saling mencintai kenapa perbedaan harus dipermasalahkan? Bukankah di luar sana banyak pasangan yang berbeda tapi mereka bisa saling menghargai dan hidup rukun?”

Aku tak ingin berdebat dengan Mas Anto. Mungkin dirinya benar tapi mungkin juga salah. Mungkin pula sejak awal hubungan kami suatu kesalahan. Sesuatu yang tak bisa kujelaskan padanya dengan teori religi yang kuanut, aku terjebak..... pada cinta pada dosa pada keraguan yang dalam hitungan menit bergerak memuncak.

” Kak Setia menelponku kemarin, La...”

”Kenapa?” jawabku tak antusias, kehilangan semangat apalagi aku tahu Kak Setia sepupunya Mas Anto salah satu yang menentang hubungan kami.

”Dia mengajakku ke Belanda minggu depan. Ada pertemuan tahunan yayasan dan urusan penting di sana yang tak bisa ditunda.”

”Berapa lama?”

”Paling cepat sekitar tiga bulan..........”  Aku benar-benar membatu sekarang. Mematung di tangan pemahat yang membiarkanku terlelap. Kata-katanya seperti angin yang seolah tak terdengar jelas di telingaku. Sayup.

”Selama kepergianku aku akan tetap memberi kabar seperti biasa dan kuharap pembicaraan kita kali ini bukanlah akhir. Kau tahu aku sangat cinta padamu La,,, Tolong beri aku waktu untuk mempertimbangkan segalanya. Please...?” 

Ucapan Mas Anto membuatku kembali menapak. Aku sendiri tak benar-benar yakin jika berpisah dengannya menjadi sesuatu yang kuinginkan. Mungkin aku harus memberi Mas Anto kesempatan. Segala sesuatu bisa terjadi dalam waktu tiga bulan bukan? Dirinya juga aku. Dalam rentang tiga bulan mungkin dapat merubah segalanya juga memberi jawaban pada cinta kami. Mungkin ...........

********

Hari mulai beranjak sore, lamunanku tersadar tatkala selembar daun jati tua gugur menerpa pundakku yang duduk santai di bawah pohonnya. Aku teringat pada kata-kata Mas Anto sebulan lalu, aku akan tetap memberi kabar La? Buktinya? Baru sebulan sejak keberangkatannya ke Belanda dia sudah melupakanku... Ironis. Aku tergantung seperti tali jemuran lusuh di bawah terik. Menanggung sesak karena terlupakan. Oh.....Tuhan.... Tak dapat kugambarkan rasa itu. Membangkitkan kegilaan yang jika harus disalurkan dalam bentuk tulisan dapat berupa update status galau atau tweet gila di komunitas #15HalyangMembuatGalau. Sebulan tanpa kabar dari Mas Anto benar-benar membuatku GILA! Tak lagi setengah gila.... Jiwaku setengah melayang, mirip separuh boneka robot yang kehabisan baterai.

********








Tidak ada komentar:

Posting Komentar