Kali ini aku menatap dinding berwarna kuning, di sana tergantung beberapa
buah lukisan minyak tak beraturan. Entah lukisan apa, aku tak begitu memahami hasil seni artistik milik tangan
handal pembuatnya. Jenis ilustrasi yang tak kumengerti, dan aku tak berusaha
memahami. Hanya melihat ke dalam seolah
menemukan semacam terowongan aneh yang berputar-putar. Sementara alunan musik
sonata terdengar jelas. Rasanya seperti berada di
konser klasik dengan tirai pucat bergelambir. Ruangan ini dipenuhi oleh lukisan aneh dan
benda-benda antik yang sedikit menyiratkan misteri. Ditambah dengan hentakan
nada dari tuts-tuts piano yang memenuhi ruangan. Membuatku tercengang dan
sedikit penasaran dengan si pemiliknya.
Nyatanya, aku sudah menunggu hampir selama satu jam dan sama sekali
belum nampak batang hidung seseorang yang bernama Tuan Santoso. Oleh
pembantunya, aku hanya diminta menunggu, demikian pesan si empunya rumah.
Pandanganku berkeliling. Dari
satu sisi ke sisi yang lain hingga semuanya benar-benar terlihat jelas. Satu
hal yang terlintas, sepertinya tuan Santoso ini jenis pria dengan jiwa seni
yang tinggi. Seseorang dengan kepribadian yang sangat kuat. Hal itu sangat
tergambar dari tata letak ruangan dan koleksi-koleksi yang ada. Sungguh berciri
khas. Namun, menunggu dan hanya duduk memperhatikan sekeliling selama hampir
satu jam tetap akan membuat bosan siapapun, termasuk aku. Tak lama, muncul
seseorang dari arah dalam. Seorang pria sekitar usia tigapuluhan. Mungkin ini
anak dari tuan Santoso sebab dari penampilannya, tak mungkin jika ia hanya
seorang penjaga atau pembantu saja.
“Selamat sore, maaf menunggu
agak lama ya? Perkenalkan, sayalah tuan Santoso.” Apa? Sejenak aku terhenyak, tak disangka yang bernama tuan
Santoso itu ternyata masih muda dan cukup tampan. Padahal suaranya sewaktu di
telepon terdengar cukup berat dan dewasa, lebih mirip suara pria setengah baya.
Aku bersalaman dengan pria itu sambil sedikit menebar senyum.
“ Saya Lupita, Pak,” sapaku
memperkenalkan diri dengan formal. Sungguh tak disangka, si penyumbang dana
terbesar di Yayasan Bumi Pertiwi adalah seorang pria yang lebih mirip
aktor-aktor Holywood saja. Awalnya kupikir pria setengah baya dengan gaya sedikit
konservatif.
“Maaf jika saya sudah membuat
Anda menunggu lama, hemm, semoga dengan ditemani sedikit musik klasik tidak membuat Anda bosan,
Nona Lupita,” ujar pria itu ramah.
“Iya Pak, tak masalah, jujur
saja selama menunggu saya cukup mengagumi koleksi-koleksi Anda di ruangan ini
Pak. Dan musiknya….kalau tak salah benarkah itu Mozart?” Tanyaku ragu namun
sedikit ingin tahu. Setidaknya cukup aneh bagiku, si pemiliknya pergi tapi di
rumah tetap diperdengarkan musik klasik. Apa karena dia tahu akan kedatangan
tamu dan hanya sekedar inisiatif ingin menghibur tamunya? Tapi tetap saja aneh,
toh tamunya bukanlah seseorang yang penting bukan? Cuma aku yang ditugaskan Bu
Widya Ketua Yayasan Bumi Pertiwi untuk mengambil langsung cek sumbangan dari si
penderma.
“Oh ya? Ternyata Anda tahu
musik klasik? Ya....itu memang Mozart. Bagian dari
Orchestra Du Nodame. Sonata yang indah bukan? Alunan yang menghibur menjelang
sore. Benar-benar indah. Sejak siang sampai sore tiba, di rumah ini memang
diputar musik-musik klasik. Saya suka energinya.”
Aku terpana, benar-benar pria aneh… selintas
di benakku, jangan-jangan pria di depanku ini agak sedikit paranoid atau apa… Memiliki kelainan jiwa.
Astaugfirullahaladzim….Segera kusadarkan hatiku dari buruk sangka. Alangkah
teganya aku…. Spontan aku menunduk, tertampar rasa bersalah.
“Oh ya, perihal sumbangan itu,
saya memang sengaja meminta pihak yayasan untuk datang ke rumah. Dan saya sudah
dikonfirmasi oleh IbuWidya via telepon bahwa Anda yang akan datang langsung
mengambilnya.”
“Iya Pak, ini kartu identitas
saya,” ujarku sembari mengeluarkan KTP dan kartu pengenal dari Yayasan Bumi
Pertiwi tempatku bekerja.
“Tidak usah sungkan, saya sudah mengenal Anda. Dan saya
percaya.” Lagi-lagi pria ini membuatku terkejut. Tapi wajar saja, tentunya ia
bukan pria sembarangan yang akan memberi sejumlah cek bernilai besar kepada orang
yang tidak diketahuinya secara jelas. Mengingat banyak sekali modus penipuan yang mengatasnamakan yayasan.
“Mengenai Yayasan Bumi Pertiwi, saya mendapat saran dari
seorang teman. Dan sepertinya temanku itu sudah merekomendasikan wadah yang
tepat. Saya banyak mendengar tentang kegiatan-kegiatan sosial dari yayasan Anda.
Dan itu tak hanya sekedar
laporan semu di atas kertas. Jujur saya merasa kagum pada dedikasi para pekerja
sosial seperti Anda, nona Lupita…...” Kata-kata
itu terdengar sangat tulus. Sesaat aku merasa sedikit tersanjung.
“Anda terlalu memuji Pak, hemm..kalau saya boleh
menambahkan, sebenarnya kami yang kagum
pada kemurah hatian Bapak sudah memberikan bantuan yang begitu besar untuk
kepentingan sosial mengingat di zaman sekarang sepertinya hal itu boleh
dibilang cukup jarang dilakukan.”
“Hmmm…kepentingan sosial? Sebenarnya sumbangan itu tak
berarti saya begitu perduli tentang kepedulian sosial. Mungkin tepatnya saya
sedang membantu diri sendiri. Bagaimana menurut Anda, nona Lupita? Atau boleh
jika saya panggil Lupita saja?”
“Maksud Bapak? Membantu diri sendiri bukan orang lain?
Jujur saya tak begitu mengerti? Hemm…oh ya Pak, tentu saja, panggil saja saya Lupita.” Pria itu hanya
melebarkan bibirnya ke samping memperhatikan ekspresi Lupita yang sedang
mencerna kata-katanya. Seolah itu menjadi hiburan yang menyenangkan, sesekali
tuan Santoso menatap wajah polos Lupita yang lebih mirip anak Sekolah Menengah.
“Hemmm, silakan minum tehnya?
Atau mungkin Lupita ingin minuman yang lain?” Aku tergagap, karena tak enak
segera kuhirup teh di depanku perlahan. Pria aneh dengan kata-kata yang aneh.
Bagaimana mungkin dia yang sudah menyumbang begitu besar untuk anak-anak di
Yayasan tapi dia bilang sebenarnya dia membantu dirinya sendiri? Apa maksudnya?
“Terkadang kita tidak boleh
hanya sekedar mengartikan pemberian sebagai pemberian. Tapi cakupannya cukup
luas. Pemberian itu seperti wajah dengan makna juga rahasia tersendiri, baik
untuk si pemberi maupun bagi si penerima. Apa terdengar membingungkan?”
“ Hemm…iya….Maaf Pak kalau saya lancang bertanya, tapi buat
Bapak sendiri, pemberian itu dengan makna yang seperti apa?”
“Pembebasan…..” Pria itu
terdiam dan sekarang malah terlihat misterius. Lupita sedikit bergumam, seolah
melafalkan kembali kata-kata yang didengarnya.
“Pemberian adalah pembebasan
bagi jiwa agar terbebas dari keserakahan dan sifat-sifat merusak.
Lalu…bagaimana dengan Lupita?” Pria ini menatapku sekarang, tak kusangka dia
akan menanyaiku dengan pertanyaan seperti itu. Tatapannya seperti tatapan elang
yang seolah sedang mencecar mangsanya dengan pesona hipnotis.
“Setiap orang pasti memiliki persepsi yang berbeda
bukan? Mengartikan pemberian dengan wajahnya masing-masing. Bagaimana dengan
kamu Lupita?”
“Hemmm…maaf Pak, saya hanya seorang yang sederhana, jadi
saya tidak mengartikan secara mendalam makna sebuah pemberian. Memberi kepada
sesama, kepada siapapun yang membutuhkan semata-mata hanya karena ingin memberi
dan tergerak oleh hati, saya tidak memikirkan alasan apapun atau karena apapun,
seperti air yang mengalir, tidak pernah memikirkan akan kemana ujungnya dan
bagaimana, tapi mengalir hanya karena mengikuti rasa hati.”
“Itu saja? Bukan karena ingin
membebaskan diri seperti saya?” Aku menggeleng. Nyatanya, jika harus berpikir
apa alasan diriku untuk memberi, aku sendiri tak pernah memikirkannya. Mungkin
karena yang diberi benar-benar membutuhkan? Atau bisa juga karena didorong oleh
rasa sayang ataupun pada seseorang yang spesial? Dan semua itu keikhlasan yang
tak perlu dipikirkan.
“Jawaban yang sangat polos
sekali, hahaha…Hemm… Maaf…saya tak bermaksud mentertawakan, hanya memang
terdengar sedikit lucu dari pekerja sosial seperti Anda. Saya pikir akan mendengar jawaban yang lebih idealis atau mungkin
jawaban yang sedikit religius. Seperti kita memberi karena mengharap ridho Tuhan? Bagaimana menurutmu? Hemmm….pernyataanku
yang terakhir?” Pria ini hanya tersenyum.
“Menurut saya Pak.... apapun perbuatan baik yang kita
lakukan terhadap sesama maupun lingkungan, intinya tetap satu, karena hal itu
memang sesuatu yang harus kita lakukan. Maksudku memang
suatu kewajaran dari individu yang merasa dirinya beradab?”
“Adab? Kewajaran? Hemmm…..cukup
menarik?” Aku sedikit merasa canggung
sewaktu tatapan itu seolah tak lepas memperhatikan wajahku yang sesekali melirik ke arah jam dinding yang tergantung di
tembok kuning. Sudah hampir menginjak pukul lima sore. Aku menunduk,
memperhatikan cangkir tehku yang kosong dan berwarna pucat. Kali ini tak ada
suara. Kaget…. Saat tersadar ternyata tatapan itu tetap belum berhenti. Gagap
kubuka suara perlahan….Mencoba memecahkan suasana.
“Maaf Pak…Tak terasa sudah
sore ya Pak?” Tak
ada respons. Ah…..
Kali ini aku benar-benar merasa risih. Tapi
sejurus kemudian, seolah ia baru tersadar jika sikapnya membuatku tak nyaman,
ia kembali tersenyum…..
“ Iya…benar…Tak terasa ya?
Hemmm…. Jujur saya senang mengenal dan berbicara
panjang lebar seperti ini dengan Lupita?”
“Saya juga Pak….. Anda orang yang sangat ramah juga
baik,” ujarku berharap pria ini segera menyerahkan cek sumbangannya dan
mengizinkanku pulang. Ah….Sepertinya
aku sedikit tak tahu diri dengan pikiran seperti itu. Namun yang kudapati
hanya sebentuk tatapan berulang atau sekilas senyum yang tak bisa kuartikan.
“Oh ya sampai lupa, tujuan
Lupita datang kemari….sebentar ya….” Wah…sepertinya kali ini telepati yang
kukirimkam mengenai sasaran. Seolah dia merasakan apa yang kupikirkan. Tapi….baguslah,
aku tersenyum dalam hati. Karena tak bisa kupungkiri walaupun obrolan itu
sebenarnya cukup menarik sama halnya dengan si tuan rumah yang juga cukup
mempesona, namun tetap saja aku harus bergegas pulang. Pukul setengah enam
sudah ada janji dengan Bu Widya mengantarkan salah satu anak panti ke dokter.
Dan janji adalah hutang yang harus segera dilunasi.
Tak berapa lama, pria itu
kembali, kali ini dengan sebentuk amplop di tangannya. Segera kumasukkan ke dalam tas kecilku setelah ia
menyerahkannya padaku. Aneh, tapi sesaat aku seolah merasakan kehangatan di
pemberian itu. Seperti…. Sebuah amanat tersirat. Mungkin amanat yang berisi
pembebasan bagi jiwa si pemberi. Untuk mencurahkan pengabdian dan kasih pada mereka
yang benar-benar membutuhkan uluran
bantuan juga cinta.
“Terima kasih Pak…..Saya mohon
diri,” pamitku pada si pemilik senyum hangat itu.
“Tunggu…..sebelum pulang, bolehkah saya bertanya
sesuatu?” Aku ragu,
mereka-reka apa yang dipikirkannya?
“Suatu waktu, apa boleh saya
mengajak Lupita makan di luar? Yah… mungkin kita bisa melanjutkan obrolan kita
lagi?” Kali ini aku benar-benar tak menyangka kata-katanya. Sesaat aku sedikit
tersanjung.
“ Hemmmm…..Jika ada waktu yang
tepat, tentu saja Pak? Kenapa tidak….”jawabku lembut. “Terima kasih….”
Kulangkahkan kakiku perlahan meninggalkan tatapan itu, dengan sedikit rasa
berdebar yang tiba-tiba saja bersemayam di jantungku. Sesuatu yang tak sama.....Sepertinya,
itu getaran cinta!
***************************************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar