Lukisan biru menghantar Riana tanpa kata. Pepohonan berganti jenis di sepanjang village. Jalanan aspal
berlomba dalam kebekuan. Sesekali tercium bau sisa hujan yang melekat di setiap
celah. Dengan sepenuh hati Riana meremas setir di depannya. Tak terasa, butiran
mutiara masih menggenang. Hatinya masih sakit. Benar-benar sakit. Padahal
dirinya jauh-jauh menyempatkan waktu untuk datang. Pada kota di mana cintanya telah
tertambat. Pada Mario. Pria tampan yang telah mengisi hatinya semenjak dua
tahun terakhir. Tapi apa yang terjadi? Jika bukan matanya sendiri yang
menyaksikan kejadian itu. Keterlaluan. Riana berteriak dalam hati.
Adegan yang dilihatnya seolah
rekaman yang diputar berulang dalam otaknya. Bagaimana wanita penggoda itu
bergelayut mesra di lengan Mario yang kokoh.Sambil menyandarkan kepalanya yang
penuh kelicikan di dada bidang itu. Dada bidang yang seharusnya menjadi milik
Riana. Kali ini ia tak sanggup lagi, Riana sesenggukan. Sekeras-kerasnya walau
teredam oleh pintu kaca yang membungkam.
“Kau jahat Mar…” Riana menggumam. Hatinya tertampar pelak. Harga dirinya terkoyak
dalam serpihan kabut. Kenapa
cinta begitu kejam? Berkali-kali membuat relung hatinya berdarah. Terluka
begitu dalam.
Seolah mengikuti irama hatinya
yang mencuat tinggi dalam emosi tak terperi. Kakinya menginjak gas
menghembuskan deru angin di luar yang seolah berlari. Roda hitam itu
menggelinding tajam. Melindas permukaan aspal dan
kerikil tiada ampun.
Patah!
Sepatah belokan tajam di
depannya. Riana membanting setir ke samping, namun karena lajunya yang begitu
tinggi, membuat panther metalik itu
hilang keseimbangan dan berputar keras. Oleng beberapa putaran sampai akhirnya
menancap di hadapan pohon tua di sisi jalan. Seketika Riana merasakan berat tak
tertahankan di kepalanya. Sisa-sisa kesadarannya menaburkan warna lain. Merah.
Warna merah seperti darah. Lalu sekonyong-konyong Riana terlelap dalam warna
hitam.
Hitam dan pengap. Riana seolah
pernah mengalami hal ini sebelumnya, tapi di manakah? De ja vu?
“Riana…Riana…jangan pergi…” sayup-sayup
sebuah suara tak asing tapi siapa? Riana sendiri merasa heran. Merasakan
kaki-kakinya begitu ringan. Seolah terbang.
Ah…suara itu seolah menariknya
dalam kelembutan yang teduh, namun kepingan hatinya terasa tersayat-sayat. Dan
akhirnya suara itupun berganti menjadi auman-auman kecil yang menggelepar dalam
irama tak terkendali. Riana tak mengenal apapun.
Kelopak matanya serasa
menembus lorong hitam putih yang berputar dan membuatnya pusing. Semakin dalam
dan menggasing hingga meluluhlantakkan serpihan jiwa dan tubuhnya ke titik lara.
Entah berapa lama Riana tergeletak dalam keheningan aneh yang tak disadari hingga akhirnya ia
benar-benar terjaga dari mimpi atau mungkin dunia lain yang sempat didatanginya
sesaat. Bau obat-obatan yang menusuk hilir mudik di hidungnya. Kepalanya terasa
berat, namun matanya yang masih agak kabur mampu menangkap wajah itu. Wajah
yang penuh kasih dan cinta.
“Oh Riana, syukurlah Nak kau
tersadar akhirnya. Mama sangat khawatir Sayang.“ Seorang wanita setengah baya
memandang Riana sambil terisak, nampak kelegaan di wajah tuanya. “Cepat kau
panggilkan dokter, Tan” ujarnya pada wanita di dekatnya yang tak lain adalah
saudara perempuan Riana.
“Mama….”,ujar Riana lirih. Tak lama kemudian seorang dokter dan perawat datang memeriksa keadaan Riana yang lemah. Hampir dua hari ia tak
sadarkan diri hingga keajaiban telah membawanya kembali. Pada kenyataan yang
sedikit demi sedikit ditampilkan dalam sebuah pigura.
Keesokan harinya terasa lebih
hangat bagi Riana. Sinar kuning keemasan menerobos dari celah ventilasi. Balutan
perban menghiasi kepalanya dan sekujur tubuhnya masih terasa ngilu. Sesaat terlintas
di benaknya peristiwa kemarin. “Ah.. Mario…kenapa kau lakukan itu padaku?”
Bisik Riana pelan. Tatapannya berkaca-kaca tak sadar jika sepasang mata telah
menatapnya cukup lama.
“Selamat pagi?” Seketika Riana kaget. Berusaha ditolehnya dan ternyata telah berdiri sosok pria mengenakan
baju putih di sampingnya. Riana masih
ingat, itu adalah dokter yang memeriksanya kemarin.
Salam yang tak membutuhkan
jawaban karena pria itu langsung melakukan kewajibannya sebagai dokter ahli
dalam menangani pasien-pasiennya. Riana pun tanpa kata dan membiarkan dokter muda
itu bekerja. Usianya sekitar
tigapuluhtahunan ke atas dan garis wajahnya kharismatik, sesaat mengingatkan Riana pada garis wajah Mario. Ah tidak! Kenapa harus teringat pada wajah itu. Riana seharusnya membenci Mario! Tanpa sengaja Riana mendengus.
“Ada apa, Nona Riana? Apa kepalanya
masih terasa nyeri? Itu tidak apa-apa kok,” ujar dokter itu sambil tersenyum ke
arah Riana. Senyuman yang sangat khas dan penuh perhatian. Riana sedikit merasa
bersalah padanya karena telah membandingkan ketulusan itu dengan pribadi yang
penuh kelicikan dan pengkhianatan.
Tapi Riana hanya bisa memainkan
raut wajahnya perlahan. Sedikit gerakan saja masih menyisakan nyeri akibat
benturan keras di kepalanya. Dokter itu tampak begitu tenang dan memberi nuansa
tersendiri. Seolah keberadaannya menaungi bayang-bayang kehangatan dan memberi efek
menenangkan yang unik bagi pasiennya. Lalu tiba-tiba….
“Tante Ratna banyak bercerita tentang kamu, Riana,”
spontan Riana seolah ingin berteriak dalam hati. Begitu kaget mendengar ucapan
Dokter itu barusan. Tak ada lagi kata “Nona” tapi langsung memanggil namanya
dengan jelas. Dan Tante
Ratna? Darimana dokter itu mengenal ibunya? Mereka bercerita apa saja? Ah….
“Kamu mengenal Mama?” Ujarnya
dengan nada lemah namun mengisyaratkan rasa
ingin tahu yang mendalam. Tapi
yang ditanya hanya tersenyum simpul. Sesaat ia menatap Riana begitu dekat.
“Oh ya, tentu saja kamu tidak tahu, sebenarnya
kita masih punya hubungan kekerabatan kok. Orang tua kita masih sepupuan, tapi
karena aku lama di Australia jadi kita memang jarang bertemu. Terakhir aku
melihatmu…
Emm…Oya, kalo tak salah, waktu kamu masih di Sekolah
Dasar. Kamu tampak lucu dengan bandana pink hati itu, hem…Tak disangka kalo
kita akhirnya harus bertemu lagi dalam keadaan seperti ini. “
“Papa sering bercerita tentang Tante Ratna dan
anak-anaknya, termasuk kamu. Papa bilang, beliau sangat merindukan masakan
Tante. Sudah hampir sepuluh tahun mereka tidak bertemu, dan ternyata siapa yang
menyangka kalo akhirnya aku menjadi salah satu dokter di rumah sakit di kota ini. Kota kelahiran Papa. “
Lalu seolah tak ingin terlalu membebani Riana dengan ceritanya, dokter muda itu kembali
menatap Riana dengan lembut sambil berujar.
“Aku senang melihatmu lagi, gadis kecil. Tak kusangka
kamu gadis yang kuat rupanya.“ Senyumnya tulus dan sekilas tampak sinar
kelegaan di mata itu. “Oya, besok, aku akan menjengukmu lagi, baik-baik ya?”
“Emm…dokter, aku…”
“Riana… panggil saja aku Ryan,
oke?” Jawabnya sambil berlalu meninggalkan ruang putih pucat di sekeliling Riana.
*********
Tanpa terasa hampir tiga bulan
berlalu sejak Riana keluar dari rumah sakit. Kondisinya sudah dinyatakan sehat
dan tanpa gangguan apapun. Walau sebenarnya Riana paling tahu jika ada yang belum benar-benar pulih. Hatinya yang masih terlapisi kabut masa lalu dengan
pria yang sangat dicintainya. Meski dirinya selalu diberikan perhatian ekstra
oleh Ryan. Pria itu sering mengunjunginya walau dengan alasan hanya ingin
sekedar mengontrol kondisinya pasca kecelakaan tapi Riana dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda tatkala pria itu menatapnya. Sorot mata yang hangat.
Lembut melindungi namun tajam dan menyimpan misteri. Entahlah….Mungkin hati Riana masih terlalu trauma untuk
mempercayai segala bentuk cinta. Antara perhatian dan pengkhianatan, tak bisa
dipercaya jika harus muncul pada satu wajah yang sama!
Sore itu, angin bulan Agustus
bertiup kering, semenjak kejadian yang menimpanya Riana lebih sering
menghabiskan waktu di rumah dan telah menjadi kebiasaannya ketika sore ia duduk
di halaman belakang rumah, berangin di ayunan besi yang lebih mirip ayunan
putri-putri di kastil peri. Menghirup secangkir es teh
dan cemilan ringan sambil memandang awan yang menaungi kebun mawar miliknya.
“Kak….ada yang mau ketemu,
tuh,” Riana menoleh. Dari jauh ia sudah melihat langkah dokter muda itu
mendekat. Tepat di belakang adiknya, nampak Ryan dengan
gayanya yang khas. Walau
dalam hati Riana mengakui, satu kata yang terbekas. Tampan. Namun kali ini
dirinya tak ingin tergesa-gesa. Sejenak ia teringat ucapan seorang teman.
Mengobati hati dengan hati. Semudah itukah? Nyatanya, Riana bukanlah seseorang
yang mudah membuka hati untuk cinta…..
“Apa ini,” pandangan Riana langsung tertuju pada sebentuk benda yang
disodorkan Ryan padanya. Sebuah kotak persegi terbungkus kertas kado warna biru
batik.
“Bukalah…..ini untukmu.”
Riana menatapnya sesaat dengan tatapan ingin tahu tapi tak
lama jari-jarinya yang mungil segera membuka bungkusan itu.
“Hemmm…apa ini Bang? Album foto….? Emmm…” Sesaat Riana terpana melihat album foto
ukuran standar di pangkuannya. Tak ada yang istimewa, hanya sebuah album foto
berwarna hijau muda dengan tulisan motivasi dan bercover lucu.
“Album foto Bang?”
“Iya….memang tak ada yang
istimewa, cuma album foto kok…”ujar Ryan santai seolah mampu membaca pikiran Riana.
“Selanjutnya kamu pasti akan
bertanya kenapa aku memberi kamu hadiah yang ternyata hanya sebuah album foto
kan?” Ryan tersenyum.
“Kamu tahu Riana? Semenjak
pindah ke Bangka dan menetap di Pangkalpinang, Abangmu ini sama sekali belum sempat menikmati keindahan pantai
di pulau ini. Yah…kamu tahu sendirikan, itu semua karena kewajiban Abang
sebagai dokter. Jadi, anggap saja album foto itu permintaan …..”
“Permintaan apa Bang? Riana tak mengerti…”
“Maukah Riana menemani Abang
melihat keindahan di pulau Bangka ini? Yah…itupun kalo Riana tak keberatan.
Adikmu Rina pernah bilang ke Abang, katanya kamu sangat suka fotografi,
hemmm…sepertinya kita memiliki hobi yang sama. Sesekali, mungkin kita bisa
pergi untuk mengambil beberapa buah fotokan….ya…seperti pemandangan di Parai,
Tanjung Pesona atau Pasir Padi juga boleh…..Bagaimana…?”
Riana tak menjawab, walau sebenarnya ia tak tega menolak
permintaan itu tapi entah kenapa yang dirasakannya hanya berat. Hampir selama tiga bulan lebih ini tak ada
satupun yang menarik minatnya.
“Riana tak perlu menjawab
sekarang….”tukas Ryan sambil menatap Riana yang membisu. Entah kenapa dirinya
selalu berusaha menyelami perasaan gadis itu. Setidaknya ia memahami satu hal.
Hati Riana pernah terluka, luka yang sampai sekarangpun masih membekas. Dengan
kesadarannya ia sungguh tak ingin menambah beban pada gadis itu, namun
sebaliknya, ia ingin menjadi seseorang yang mampu menyembuhkan trauma cinta
yang terlanjur bersarang di hati Riana.
“September depan baru ada dokter pengganti, jadi Abang
harap jawaban Riana tidak mengecewakan ya? Masih satu bulan koq?” terang Ryan tersenyum.
****
****
Pagi itu, langit Parai terasa
begitu sejuk. Riana menghirup nafas dalam-dalam dan membiarkan angin pantai
memasuki rongga dadanya. Ia merentangkan lengannnya ke samping. Matanya
terpejam. Sedikit menengadah. Perlahan dan ia merasakan kelegaan. Sejak Sabtu, mereka
menginap di Parai. Dan tenyata permintaan itu terpenuhi. Sesaat Rizu terbayang
senyum Ryan yang sejak mereka berangkat seolah tak pernah lepas. Rina duduk di
bangku belakang. Mama dan Kakaknya Tania duduk di bangku tengah, sedang dirinya
sendiri di depan, di samping Ryan yang sejak mereka berangkat selalu
menceritakan tentang pengalaman-pengalaman lucunya di rantau orang. Entah
kenapa, selama sebulan ini Riana merasa beban yang mengganjal di hatinya terasa
berkurang. Sedikit demi sedikit seolah mulai mencair.
Canon EOS 7D itu masih berada
di genggaman Ryan ketika ia diam-diam mengambil gambar Riana yang sama sekali
tak sadar jika dirinya telah menjadi objek foto.
“ Natural…” Ryan menggumam,
membuyarkan Riana yang untuk beberapa saat lamanya merasakan keheningan menjalar
di sekujur tubuhnya. Ketika ia membuka mata, Ryan telah berdiri di sampingnya….
“ Coba lihat…? Sepertinya Abang
sudah mendapatkan foto yang sangat menarik pagi ini.” Ujarnya lembut dengan
tatapan puas. Memperlihatkan hasil fotonya kepada Riana.
“ Apa Bang? Hah, Abang curang. Tolong dihapus Bang?” Wajah Riana memerah, malu.
“ Kenapa harus dihapus? Ini bagus Ri? Coba lihat…so
natural….. .”
Tak sadar mereka telah berkeliling hampir selama satu jam dan
menemukan banyak tempat-tempat menarik untuk diabadikan ke dalam sebuah album
kecil. Riana tersenyum lepas.
Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama ia mungkin bahkan lupa bagaimana
tersenyum. Namun di hatinya saat ini hanyalah lega. Sesuatu yang hanya bisa
dirasakan, Ryan, benar-benar tak hanya mengobati luka fisiknya, tapi juga
hatinya.
Sesuatu yang dirinya dulu tak
pernah ingin lakukan, mencoba. Keberanian membuka cinta yang baru. Cinta itu
tak hanya tawa dan luka. Tapi lebih dari itu, Riana memahami satu hal. Cinta adalah keberanian yang tumbuh dari hati untuk memaafkan dan melupakan.
Kini, Riana merasakan
warna-warna di hatinya mulai terisi kembali. Oleh kehangatan dan kepercayaan.
Pada ketulusan. Seperti pelangi di hatinya……
****************************************************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar