Jumat, 20 Februari 2015

Pelangi di Hati Riana


Lukisan biru menghantar Riana tanpa kata. Pepohonan berganti jenis di sepanjang village. Jalanan aspal berlomba dalam kebekuan. Sesekali tercium bau sisa hujan yang melekat di setiap celah. Dengan sepenuh hati Riana meremas setir di depannya. Tak terasa, butiran mutiara masih menggenang. Hatinya masih sakit. Benar-benar sakit. Padahal dirinya jauh-jauh menyempatkan waktu untuk datang. Pada kota di mana cintanya telah tertambat. Pada Mario. Pria tampan yang telah mengisi hatinya semenjak dua tahun terakhir. Tapi apa yang terjadi? Jika bukan matanya sendiri yang menyaksikan kejadian itu. Keterlaluan. Riana berteriak dalam hati.

Adegan yang dilihatnya seolah rekaman yang diputar berulang dalam otaknya. Bagaimana wanita penggoda itu bergelayut mesra di lengan Mario yang kokoh.Sambil menyandarkan kepalanya yang penuh kelicikan di dada bidang itu. Dada bidang yang seharusnya menjadi milik Riana. Kali ini ia tak sanggup lagi, Riana sesenggukan. Sekeras-kerasnya walau teredam oleh pintu kaca yang membungkam.

“Kau jahat Mar…” Riana menggumam. Hatinya tertampar pelak. Harga dirinya terkoyak dalam serpihan kabut. Kenapa cinta begitu kejam? Berkali-kali membuat relung hatinya berdarah. Terluka begitu dalam.

Seolah mengikuti irama hatinya yang mencuat tinggi dalam emosi tak terperi. Kakinya menginjak gas menghembuskan deru angin di luar yang seolah berlari. Roda hitam itu menggelinding tajam. Melindas permukaan aspal dan kerikil tiada ampun.

Patah!

Sepatah belokan tajam di depannya. Riana membanting setir ke samping, namun karena lajunya yang begitu tinggi, membuat panther metalik  itu hilang keseimbangan dan berputar keras. Oleng beberapa putaran sampai akhirnya menancap di hadapan pohon tua di sisi jalan. Seketika Riana merasakan berat tak tertahankan di kepalanya. Sisa-sisa kesadarannya menaburkan warna lain. Merah. Warna merah seperti darah. Lalu sekonyong-konyong Riana terlelap dalam warna hitam.

Hitam dan pengap. Riana seolah pernah mengalami hal ini sebelumnya, tapi di manakah? De ja vu?
“Riana…Riana…jangan pergi…” sayup-sayup sebuah suara tak asing tapi siapa? Riana sendiri merasa heran. Merasakan kaki-kakinya begitu ringan. Seolah terbang.

Ah…suara itu seolah menariknya dalam kelembutan yang teduh, namun kepingan hatinya terasa tersayat-sayat. Dan akhirnya suara itupun berganti menjadi auman-auman kecil yang menggelepar dalam irama tak terkendali. Riana tak mengenal apapun.

Kelopak matanya serasa menembus lorong hitam putih yang berputar dan membuatnya pusing. Semakin dalam dan menggasing hingga meluluhlantakkan serpihan jiwa dan tubuhnya ke titik lara.

Entah berapa lama Riana tergeletak dalam keheningan aneh yang tak disadari hingga akhirnya ia benar-benar terjaga dari mimpi atau mungkin dunia lain yang sempat didatanginya sesaat. Bau obat-obatan yang menusuk hilir mudik di hidungnya. Kepalanya terasa berat, namun matanya yang masih agak kabur mampu menangkap wajah itu. Wajah yang penuh kasih dan cinta.

“Oh Riana, syukurlah Nak kau tersadar akhirnya. Mama sangat khawatir Sayang.“ Seorang wanita setengah baya memandang Riana sambil terisak, nampak kelegaan di wajah tuanya. “Cepat kau panggilkan dokter, Tan” ujarnya pada wanita di dekatnya yang tak lain adalah saudara perempuan Riana.

“Mama….”,ujar Riana lirih. Tak lama kemudian seorang dokter dan perawat datang memeriksa keadaan Riana yang lemah. Hampir dua hari ia tak sadarkan diri hingga keajaiban telah membawanya kembali. Pada kenyataan yang sedikit demi sedikit ditampilkan dalam sebuah pigura.

Keesokan harinya terasa lebih hangat bagi Riana. Sinar kuning keemasan menerobos dari celah ventilasi. Balutan perban menghiasi kepalanya dan sekujur tubuhnya masih terasa ngilu. Sesaat terlintas di benaknya peristiwa kemarin. “Ah.. Mario…kenapa kau lakukan itu padaku?” Bisik Riana pelan. Tatapannya berkaca-kaca tak sadar jika sepasang mata telah menatapnya cukup lama.

“Selamat pagi?” Seketika Riana kaget. Berusaha ditolehnya dan ternyata telah berdiri sosok pria mengenakan baju  putih di sampingnya. Riana masih ingat, itu adalah dokter yang memeriksanya kemarin.

Salam yang tak membutuhkan jawaban karena pria itu langsung melakukan kewajibannya sebagai dokter ahli dalam menangani pasien-pasiennya. Riana pun tanpa kata dan membiarkan dokter muda  itu bekerja. Usianya sekitar tigapuluhtahunan ke atas dan garis wajahnya kharismatik, sesaat mengingatkan Riana pada garis wajah Mario. Ah tidak! Kenapa harus teringat pada wajah itu. Riana seharusnya membenci Mario! Tanpa sengaja Riana mendengus.

“Ada apa, Nona Riana? Apa kepalanya masih terasa nyeri? Itu tidak apa-apa kok,” ujar dokter itu sambil tersenyum ke arah Riana. Senyuman yang sangat khas dan penuh perhatian. Riana sedikit merasa bersalah padanya karena telah membandingkan ketulusan itu dengan pribadi yang penuh kelicikan dan pengkhianatan.

Tapi Riana hanya bisa memainkan raut wajahnya perlahan. Sedikit gerakan saja masih menyisakan nyeri akibat benturan keras di kepalanya. Dokter itu tampak begitu tenang dan memberi nuansa tersendiri. Seolah keberadaannya menaungi bayang-bayang kehangatan dan memberi efek menenangkan yang unik bagi pasiennya. Lalu tiba-tiba….

“Tante Ratna banyak bercerita tentang kamu, Riana,” spontan Riana seolah ingin berteriak dalam hati. Begitu kaget mendengar ucapan Dokter itu barusan. Tak ada lagi kata “Nona” tapi langsung memanggil namanya dengan jelas. Dan Tante Ratna? Darimana dokter itu mengenal ibunya? Mereka bercerita apa saja? Ah….

“Kamu mengenal Mama?” Ujarnya dengan nada lemah namun mengisyaratkan rasa  ingin tahu  yang mendalam. Tapi yang ditanya hanya tersenyum simpul. Sesaat ia menatap Riana begitu dekat.

 “Oh ya, tentu saja kamu tidak tahu, sebenarnya kita masih punya hubungan kekerabatan kok. Orang tua kita masih sepupuan, tapi karena aku lama di Australia jadi kita memang jarang  bertemu. Terakhir aku melihatmu…

Emm…Oya, kalo tak salah, waktu kamu masih di Sekolah Dasar. Kamu tampak lucu dengan bandana pink hati itu, hem…Tak disangka kalo kita akhirnya harus bertemu lagi dalam keadaan seperti ini.

“Papa sering bercerita tentang Tante Ratna dan anak-anaknya, termasuk kamu. Papa bilang, beliau sangat merindukan masakan Tante. Sudah hampir sepuluh tahun mereka tidak bertemu, dan ternyata siapa yang menyangka kalo akhirnya aku menjadi salah satu dokter di rumah sakit di kota ini. Kota kelahiran Papa. “ Lalu seolah tak ingin terlalu membebani Riana dengan ceritanya, dokter muda itu kembali menatap Riana dengan lembut sambil berujar.

“Aku senang melihatmu lagi, gadis kecil. Tak kusangka kamu gadis yang kuat rupanya.“  Senyumnya tulus dan sekilas tampak sinar kelegaan di mata itu. “Oya, besok, aku akan menjengukmu lagi, baik-baik ya?”

“Emm…dokter, aku…”

“Riana… panggil saja aku Ryan, oke?” Jawabnya sambil berlalu meninggalkan ruang putih pucat di sekeliling Riana.

*********

Tanpa terasa hampir tiga bulan berlalu sejak Riana keluar dari rumah sakit. Kondisinya sudah dinyatakan sehat dan tanpa gangguan apapun. Walau sebenarnya Riana paling tahu jika ada yang belum benar-benar pulih. Hatinya yang masih terlapisi kabut masa lalu dengan pria yang sangat dicintainya. Meski dirinya selalu diberikan perhatian ekstra oleh Ryan. Pria itu sering mengunjunginya walau dengan alasan hanya ingin sekedar mengontrol kondisinya pasca kecelakaan tapi Riana dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda tatkala pria itu menatapnya. Sorot mata yang hangat. Lembut melindungi namun tajam dan menyimpan misteri. Entahlah….Mungkin hati Riana masih terlalu trauma  untuk mempercayai segala bentuk cinta. Antara perhatian dan pengkhianatan, tak bisa dipercaya jika harus muncul pada satu wajah yang sama!

Sore itu, angin bulan Agustus bertiup kering, semenjak kejadian yang menimpanya Riana lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan telah menjadi kebiasaannya ketika sore ia duduk di halaman belakang rumah, berangin di ayunan besi yang lebih mirip ayunan putri-putri di kastil peri. Menghirup secangkir es teh dan cemilan ringan sambil memandang awan yang menaungi kebun mawar  miliknya.

“Kak….ada yang mau ketemu, tuh,” Riana menoleh. Dari jauh ia sudah melihat langkah dokter muda itu mendekat. Tepat di belakang adiknya, nampak Ryan dengan gayanya yang khas. Walau dalam hati Riana mengakui, satu kata yang terbekas. Tampan. Namun kali ini dirinya tak ingin tergesa-gesa. Sejenak ia teringat ucapan seorang teman. Mengobati hati dengan hati. Semudah itukah? Nyatanya, Riana bukanlah seseorang yang mudah membuka hati untuk cinta…..

“Apa ini,” pandangan Riana langsung tertuju pada sebentuk benda yang disodorkan Ryan padanya. Sebuah kotak persegi terbungkus kertas kado warna biru batik.

“Bukalah…..ini untukmu.”

Riana menatapnya sesaat dengan tatapan ingin tahu tapi tak lama jari-jarinya yang mungil segera membuka bungkusan itu.

“Hemmm…apa ini Bang? Album foto….? Emmm…” Sesaat Riana terpana melihat album foto ukuran standar di pangkuannya. Tak ada yang istimewa, hanya sebuah album foto berwarna hijau muda dengan tulisan motivasi dan bercover lucu.

“Album foto Bang?”

“Iya….memang tak ada yang istimewa, cuma album foto kok…”ujar Ryan santai seolah mampu membaca pikiran Riana.

“Selanjutnya kamu pasti akan bertanya kenapa aku memberi kamu hadiah yang ternyata hanya sebuah album foto kan?” Ryan tersenyum.

“Kamu tahu Riana? Semenjak pindah ke  Bangka dan menetap di Pangkalpinang, Abangmu ini sama sekali belum sempat menikmati keindahan pantai di pulau ini. Yah…kamu tahu sendirikan, itu semua karena kewajiban Abang sebagai dokter. Jadi, anggap saja album foto itu permintaan …..”

“Permintaan  apa Bang? Riana tak mengerti…”

“Maukah Riana menemani Abang melihat keindahan di pulau Bangka ini? Yah…itupun kalo Riana tak keberatan. Adikmu Rina pernah bilang ke Abang, katanya kamu sangat suka fotografi, hemmm…sepertinya kita memiliki hobi yang sama. Sesekali, mungkin kita bisa pergi untuk mengambil beberapa buah fotokan….ya…seperti pemandangan di Parai, Tanjung Pesona atau Pasir Padi juga boleh…..Bagaimana…?”

Riana tak menjawab, walau sebenarnya ia tak tega menolak permintaan itu tapi entah kenapa yang dirasakannya hanya berat. Hampir selama tiga bulan lebih ini tak ada satupun yang menarik minatnya.

“Riana tak perlu menjawab sekarang….”tukas Ryan sambil menatap Riana yang membisu. Entah kenapa dirinya selalu berusaha menyelami perasaan gadis itu. Setidaknya ia memahami satu hal. Hati Riana pernah terluka, luka yang sampai sekarangpun masih membekas. Dengan kesadarannya ia sungguh tak ingin menambah beban pada gadis itu, namun sebaliknya, ia ingin menjadi seseorang yang mampu menyembuhkan trauma cinta yang terlanjur bersarang di hati Riana.

“September depan baru ada dokter pengganti, jadi Abang harap jawaban Riana tidak mengecewakan ya? Masih satu bulan koq?” terang Ryan tersenyum.   

****

Pagi itu, langit Parai terasa begitu sejuk. Riana menghirup nafas dalam-dalam dan membiarkan angin pantai memasuki rongga dadanya. Ia merentangkan lengannnya ke samping. Matanya terpejam. Sedikit menengadah. Perlahan dan ia merasakan kelegaan. Sejak Sabtu, mereka menginap di Parai. Dan tenyata permintaan itu terpenuhi. Sesaat Rizu terbayang senyum Ryan yang sejak mereka berangkat seolah tak pernah lepas. Rina duduk di bangku belakang. Mama dan Kakaknya Tania duduk di bangku tengah, sedang dirinya sendiri di depan, di samping Ryan yang sejak mereka berangkat selalu menceritakan tentang pengalaman-pengalaman lucunya di rantau orang. Entah kenapa, selama sebulan ini Riana merasa beban yang mengganjal di hatinya terasa berkurang. Sedikit demi sedikit seolah mulai mencair.

Canon EOS 7D itu masih berada di genggaman Ryan ketika ia diam-diam mengambil gambar Riana yang sama sekali tak sadar jika dirinya telah menjadi objek foto.

“ Natural…” Ryan menggumam, membuyarkan Riana yang untuk beberapa saat lamanya merasakan keheningan menjalar di sekujur tubuhnya. Ketika ia membuka mata, Ryan telah berdiri di sampingnya….

“ Coba lihat…? Sepertinya Abang sudah mendapatkan foto yang sangat menarik pagi ini.” Ujarnya lembut dengan tatapan puas. Memperlihatkan hasil fotonya kepada Riana.

“ Apa Bang? Hah, Abang curang. Tolong dihapus Bang?” Wajah Riana memerah, malu.

“ Kenapa harus dihapus? Ini bagus Ri? Coba lihat…so natural….. .”

Tak sadar mereka telah berkeliling hampir selama satu jam dan menemukan banyak tempat-tempat menarik untuk diabadikan ke dalam sebuah album kecil. Riana tersenyum lepas. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama ia mungkin bahkan lupa bagaimana tersenyum. Namun di hatinya saat ini hanyalah lega. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan, Ryan, benar-benar tak hanya mengobati luka fisiknya, tapi juga hatinya.

Sesuatu yang dirinya dulu tak pernah ingin lakukan, mencoba. Keberanian membuka cinta yang baru. Cinta itu tak hanya tawa dan luka. Tapi lebih dari itu, Riana memahami satu hal. Cinta adalah keberanian yang tumbuh dari hati untuk memaafkan dan melupakan.

Kini, Riana merasakan warna-warna di hatinya mulai terisi kembali. Oleh kehangatan dan kepercayaan. Pada ketulusan. Seperti pelangi di hatinya……

   ****************************************************



Tidak ada komentar:

Posting Komentar