Matahari sore itu tak
menyiratkan apapun. Selain kabut kelabu di antara desau
kepak layang-layang hitam yang mondar mandir di atas permukaan sungai. Dari
atas jembatan, Tara memandang sekelompok
remaja yang masih mendayung perahu sewaannya. Setiap Sabtu sore, di pinggir
jembatan itu dipenuhi orang-orang yang menghabiskan waktu berkumpul. Sebagian
besar adalah para remaja. Di bawahnya, terbentang sungai retensi Kacang Pedang.
Pemandangan yang cukup indah, apalagi di kala sore saat matahari nampak merah,
walau sore ini air sungai hanya berlipat ringan. Tak memantul cerah seperti biasa, karena hujan
baru saja berhenti kira-kira sejam yang lalu.
Semburat merah yang agak redup
itu membungkus tatapan Tara dengan hati takjub. Tarian kawanan layang hitam
yang lincah menampar Tara pada sebuah ingatan. Satu wajah! Dan kini wajah itu
hadir di ingatannya sekarang. Lengkap dengan senyumnya, tatapannya yang lembut
selalu menggetarkan Tara di setiap tarikan nafas. Tak pernah mengenal bosan
jika harus mengingat tentang wajah itu.Tertanam dalam memori Tara sehingga
wajah itu seolah hidup menyapa hari-hari dalam kesehariannya meski wajah itu
tak dimilikinya. Tara pun tak mengerti. Inikah cinta itu? Cinta yang kata
sebagian orang tak mengenal logika, cinta yang di dalamnya justru melahirkan
kebutuhan tersendiri yang tak dapat dicegah? Nyatanya, wajah itu sudah menemani
Tara bertahun-tahun yang panjang. Seketika Tara tersentak oleh suara hp-nya
yang berdering cukup keras.
“Assalamuallaikum…? Ada apa Ris?”
Di kejauhan terdengar suara Risma pelan menggurat pertanyaan yang membuat hati
Tara berdebar tak keruan.
“Bagaimana Tara? Sudah hampir
dua minggu tak ada kabar. Malam ini aku dan Kak Herry akan ke rumah. Kamu ada
di rumahkan?” Sejenak Tara tak menyahut. Hatinya bimbang.
“Iya….Ris…iya, aku ada di
rumah kok. Datang saja….”
“Okeh, sampai jumpa nanti ya?”
Sambungan itu terputus meninggalkan Tara dalam suasana yang sulit dijelaskan.
Risma adalah sahabat Tara
sejak di Sekolah Menengah. Dan sekarang sahabatnya itu sudah menikah dengan Herry.
Kakak kelas berprestasi yang sering menjadi pembicaraan mereka dulu. Kini,
setelah sepuluh tahun menikah, kehidupan mereka sangat bahagia dengan tiga
orang anak yang lucu-lucu. Secara materipun, kehidupan mereka sangat mapan.
Gambaran keluarga kecil yang bahagia. Tara tersenyum memikirkan semua itu, meski
terkadang terselip sedikit rasa cemburu. Kebahagiaan yang menurutnya sempurna,
walau nyatanya adakah kebahagiaan yang benar-benar sempurna di dunia selain
rasa syukur? Tara mendesah pelan. Membuang jauh-jauh pikiran itu dari jiwanya
yang mendambakan sebentuk cinta sejati.
Malam itu, Risma duduk di
samping tempat tidur Tara dengan tatapan antusias. Sementara Herry suaminya
mengobrol dengan saudara laki-laki Tara di ruang tamu depan. Sejenak kedua sahabat
lama itu hanya terdiam. Sampai beberapa lamanya seolah Risma sudah tak sabar
dengan kekakuan di antara mereka.
“Apa jawabanmu?”
“Hah, apa? Emm….aku…”
“Ayolah Tara..ini sudah dua minggu sejak terakhir aku
bertanya, masa sih selama itu kamu belum memutuskan? Aku sudah berkali-kali ditanyai Kak Anton tentang
jawabanmu. Lalu…sekarang…apa jawabannya Tara…? Kamu bersedia kan? Menerima
lamaran Kak Anton?” Tara hanya menekur.Terdiam seperti boneka yang sedang
dieksekusi.
“Aku…aku samasekali belum
memutuskan Ris…? Maaf…Tapi aku masih butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”
“Waktu? Kamu bilang waktu?
Berapa lama lagi waktu yang kamu butuhkan Tar? Sebulan? Setahun? Kenapa
memutuskan hal seperti ini saja sangat sulit buat kamu? Coba kamu pikir, apa
kekurangan Kak Anton? Dia tampan, muslim yang ideal, punya pekerjaan, dan yang
jelas dia mencintaimu dan menginginkan kamu yang menjadi istrinya. Kamu itu
beruntung Tara? Pernahkah kamu berpikir tentang itu? Hah?!” Suara Risma agak
meninggi. Sedikit tak sabar dengan sikap Tara yang tak bisa memberi jawaban
pasti.
“Bukannya
aku memaksamu untuk menerima lamaran Kak Anton karena dia saudaraku, tapi juga
karena kamu adalah sahabatku, Tara? Aku ingin yang terbaik buat kamu.
Dan tentu saja aku orang yang paling mengenal karakter Kak Anton. Aku tahu dia
orang yang seperti apa karena dia kakakku. Kak Anton pria yang baik, penyayang
dan bertanggungjawab…..? Apakah itu semua masih kurang buatmu…..?!”
“Maafkan aku Ris…aku
benar-benar….butuh waktu…?”
Kali ini Tara tak dapat menyembunyikan perasaannya lebih lama. Air matanya menetes satu-satu. Tak tahu apa yang harus dikatakan. Dirinya sungguh tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkannya. Mungkin seumur hidup…….Entah dengan cara apa ia harus mengungkapkan perasaannya sekarang. Begitu dilematis, antara cinta, tuntutan, harapan yang tak dapat ia raih dan masa depan. Tara hanya bisa menangis, menyaksikan Risma yang beranjak meninggalkan dirinya di kamar yang sekarang terasa begitu pengap.Sepengap celah di jantungnya hingga menyempit di rongga dada dan mencekat di lehernya.
Kali ini Tara tak dapat menyembunyikan perasaannya lebih lama. Air matanya menetes satu-satu. Tak tahu apa yang harus dikatakan. Dirinya sungguh tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkannya. Mungkin seumur hidup…….Entah dengan cara apa ia harus mengungkapkan perasaannya sekarang. Begitu dilematis, antara cinta, tuntutan, harapan yang tak dapat ia raih dan masa depan. Tara hanya bisa menangis, menyaksikan Risma yang beranjak meninggalkan dirinya di kamar yang sekarang terasa begitu pengap.Sepengap celah di jantungnya hingga menyempit di rongga dada dan mencekat di lehernya.
Pernikahan untuknya adalah
sesuatu yang sangat agung dan indah. Begitu sakral dan hanya bisa dilandasi
oleh dasar yang juga agung. Dan satu-satunya keagungan itu adalah cinta. Naif.
Tara memang sangat naif. Terlebih di usianya yang sudah kepala tiga. Cara
berpikirnya mungkin lebih mirip seorang remaja yang baru mengenal cinta. Walau
dirinya cukup mengerti tak hanya modal cinta untuk membangun sebuah pernikahan.
Tapi banyak faktor yang terlibat. Keluarga, agama, pendidikan, cara berpikir
yang membentuk karakter seseorang untuk menjadi seorang imam dalam keluarga,
begitupun sebaliknya. Pertanyaannya adalah haruskah dirinya menikah hanya
karena faktor kompromi ataupun karena tuntutan usia?
Tapi pernikahan juga adalah
ibadah, dan pertanyaannya bagaimana
sesuatu yang indah bisa menjadi ibadah jika di dalamnya hanya ada keterpaksaan?
Bagaimana seorang istri bisa berbakti kepada suami dengan ikhlas jika suami itu
bukanlah seseorang yang dicintainya? Jika hati itu terlanjur dimiliki oleh pria
lain? Pengkhianatan secara tak langsung bukan? Karena pernikahan juga adalah
ikatan emosi terdalam antara dua individu yang saling membutuhkan dan mengisi
satu sama lain. Pernikahan tak hanya soal status dan kewajiban. Tak hanya
tentang memberi dan diberi, tapi tentang keikhlasan terdalam dan itu adalah
cinta yang nyata! Tara tak mampu membayangkan jika dirinya harus tidur dengan
pria yang tak dicintainya. Disentuh dan wajib melayani atas dasar kewajiban dan
patuh. Kenapa? Karena dirinya bukanlah boneka. Tidakkah itu dosa namanya?
Alih-alih mendapat pahala malah mendapat murka!
Ingin sekali Tara menjerit.
Merasakan kekosongan itu merebak di setiap kisi. Ingin ia meneriakkan pada
tiang-tiang dan merobek segala kesenyapan yang merambat.
Jauh di hatinya yang rapuh seperti serpihan kayu
sisa gergaji. Terkikis tipis oleh waktu dan tuntutan. Namun, apa daya jika
kenyataan telah terlanjur menempatkan jiwanya pada sebuah perangkap yang takkan
mungkin dimengerti oleh siapapun. Cinta yang bodohkah namanya? Atau cinta gila
mirip judul lagu-lagu komersil yang beredar di pasaran? Pertanyaannya, benarkah
kebodohan dan kegilaan itu cinta?
Risma meninggalkan rumah Tara
dan tak pernah memberi kabar lagi padanya. Bahkan berminggu-minggu setelah
kejadian itu, telepon Tara tak pernah lagi diangkat. Selalu jawaban sama yang
ditinggalkan oleh mesin penjawab. Namun, entah dengan cara apa Tara seolah
mengerti kesalahan itu. Sesuatu yang membuatnya merasa bersalah...... Pada
sahabatnya.....pada Kak Anton.......
Tara ingin memaki dirinya
karena tak pernah berani mengambil keputusan itu. Melupakan sama sekali atau
justru memperjuangkan cinta yang sudah bertahun-tahun menggumpal di dadanya. Mungkin
sekaranglah ia harus membuat pilihan agar hatinya tak terlunta lebih lama. Keputusan
yang dapat sangat berpengaruh pada hidupnya..... Keputusan tentang cinta dan
masa depan. Atau tepatnya antara hidup dan mati. Karena cinta itu adalah nyawa
yang terlanjur membungkus jiwanya yang tertatih.
Bayangan itu kembali hadir di
benak Tara.... Perempuan setengah baya, renta dan beruban yang duduk di pinggir
jendela tatkala sore menjelang. Gelisah menantikan matahari terbenam. Di
tangannya tergantung tasbih lusuh dari biji-biji yang sudah kehilangan warna.
Mirip dengan si pemegangnya yang sudah termakan usia. Perempuan renta itu
sesekali menatap ke arah langit dan mencari gumpalan-gumpalan awan yang tersisa.
Seolah mencari asa yang tertinggal di masa lalu. Mungkin terkubur tapi tak
sepenuhnya hancur.... Dan sinar redup itu menggoda batinnya andai ia tak
bermain dengan waktu, tak menyia-nyiakan segalanya, andai dirinya tak terlalu
pengecut mengejar impian hatinya.... Hanya sanggup membayangkan seperti apa
rupa kekasih hatinya kini? Beruban di tempat yang entah tak tahu di mana
rimbanya? Menyalahkan diri andai dulu ia berani....pada cinta itu yang
memberinya amanat.....
Kosong......
Tara paling mengerti jika wanita renta itu mungkin gambaran dirinya. Tidak...dirinya tak ingin mereka-reka. Terlalu menakutkan.....Mungkin hal inilah yang membuatnya enggan menerima lamaran Kak Anton. Tak ingin mengambil risiko dengan cinta. Mereka bilang, cinta dapat datang setelah menikah..... Bagaimana jika tidak?
**********
Kosong......
Tara paling mengerti jika wanita renta itu mungkin gambaran dirinya. Tidak...dirinya tak ingin mereka-reka. Terlalu menakutkan.....Mungkin hal inilah yang membuatnya enggan menerima lamaran Kak Anton. Tak ingin mengambil risiko dengan cinta. Mereka bilang, cinta dapat datang setelah menikah..... Bagaimana jika tidak?
**********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar