Kamis, 19 Februari 2015

Cinta Tara


Matahari sore itu tak menyiratkan apapun. Selain kabut kelabu di antara desau kepak layang-layang hitam yang mondar mandir di atas permukaan sungai. Dari atas jembatan, Tara memandang sekelompok remaja yang masih mendayung perahu sewaannya. Setiap Sabtu sore, di pinggir jembatan itu dipenuhi orang-orang yang menghabiskan waktu berkumpul. Sebagian besar adalah para remaja. Di bawahnya, terbentang sungai retensi Kacang Pedang. Pemandangan yang cukup indah, apalagi di kala sore saat matahari nampak merah, walau sore ini air sungai hanya berlipat ringan. Tak memantul cerah seperti biasa, karena hujan baru saja berhenti kira-kira sejam yang lalu.

Semburat merah yang agak redup itu membungkus tatapan Tara dengan hati takjub. Tarian kawanan layang hitam yang lincah menampar Tara pada sebuah ingatan. Satu wajah! Dan kini wajah itu hadir di ingatannya sekarang. Lengkap dengan senyumnya, tatapannya yang lembut selalu menggetarkan Tara di setiap tarikan nafas. Tak pernah mengenal bosan jika harus mengingat tentang wajah itu.Tertanam dalam memori Tara sehingga wajah itu seolah hidup menyapa hari-hari dalam kesehariannya meski wajah itu tak dimilikinya. Tara pun tak mengerti. Inikah cinta itu? Cinta yang kata sebagian orang tak mengenal logika, cinta yang di dalamnya justru melahirkan kebutuhan tersendiri yang tak dapat dicegah? Nyatanya, wajah itu sudah menemani Tara bertahun-tahun yang panjang. Seketika Tara tersentak oleh suara hp-nya yang berdering cukup keras.

“Assalamuallaikum…? Ada apa Ris?” Di kejauhan terdengar suara Risma pelan menggurat pertanyaan yang membuat hati Tara berdebar tak keruan.

“Bagaimana Tara? Sudah hampir dua minggu tak ada kabar. Malam ini aku dan Kak Herry akan ke rumah. Kamu ada di rumahkan?” Sejenak Tara tak menyahut. Hatinya bimbang.

“Iya….Ris…iya, aku ada di rumah kok. Datang saja….”

“Okeh, sampai jumpa nanti ya?” Sambungan itu terputus meninggalkan Tara dalam suasana yang sulit dijelaskan.

Risma adalah sahabat Tara sejak di Sekolah Menengah. Dan sekarang sahabatnya itu sudah menikah dengan Herry. Kakak kelas berprestasi yang sering menjadi pembicaraan mereka dulu. Kini, setelah sepuluh tahun menikah, kehidupan mereka sangat bahagia dengan tiga orang anak yang lucu-lucu. Secara materipun, kehidupan mereka sangat mapan. Gambaran keluarga kecil yang bahagia. Tara tersenyum memikirkan semua itu, meski terkadang terselip sedikit rasa cemburu. Kebahagiaan yang menurutnya sempurna, walau nyatanya adakah kebahagiaan yang benar-benar sempurna di dunia selain rasa syukur? Tara mendesah pelan. Membuang jauh-jauh pikiran itu dari jiwanya yang mendambakan sebentuk cinta sejati.

Malam itu, Risma duduk di samping tempat tidur Tara dengan tatapan antusias. Sementara Herry suaminya mengobrol dengan saudara laki-laki Tara di ruang tamu depan. Sejenak kedua sahabat lama itu hanya terdiam. Sampai beberapa lamanya seolah Risma sudah tak sabar dengan kekakuan di antara mereka.

“Apa jawabanmu?”

“Hah, apa? Emm….aku…”

“Ayolah Tara..ini sudah dua minggu sejak terakhir aku bertanya, masa sih selama itu kamu belum memutuskan? Aku sudah berkali-kali ditanyai Kak Anton tentang jawabanmu. Lalu…sekarang…apa jawabannya Tara…? Kamu bersedia kan? Menerima lamaran Kak Anton?” Tara hanya menekur.Terdiam seperti boneka yang sedang dieksekusi.

“Aku…aku samasekali belum memutuskan Ris…? Maaf…Tapi aku masih butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”

“Waktu? Kamu bilang waktu? Berapa lama lagi waktu yang kamu butuhkan Tar? Sebulan? Setahun? Kenapa memutuskan hal seperti ini saja sangat sulit buat kamu? Coba kamu pikir, apa kekurangan Kak Anton? Dia tampan, muslim yang ideal, punya pekerjaan, dan yang jelas dia mencintaimu dan menginginkan kamu yang menjadi istrinya. Kamu itu beruntung Tara? Pernahkah kamu berpikir tentang itu? Hah?!” Suara Risma agak meninggi. Sedikit tak sabar dengan sikap Tara yang tak bisa memberi jawaban pasti.

  “Bukannya aku memaksamu untuk menerima lamaran Kak Anton karena dia saudaraku, tapi juga karena kamu adalah sahabatku, Tara? Aku ingin yang terbaik buat kamu. Dan tentu saja aku orang yang paling mengenal karakter Kak Anton. Aku tahu dia orang yang seperti apa karena dia kakakku. Kak Anton pria yang baik, penyayang dan bertanggungjawab…..? Apakah itu semua masih kurang buatmu…..?!”

“Maafkan aku Ris…aku benar-benar….butuh waktu…?”

 Kali ini Tara tak dapat menyembunyikan perasaannya lebih lama. Air matanya menetes satu-satu. Tak tahu apa yang harus dikatakan. Dirinya sungguh tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkannya. Mungkin seumur hidup…….Entah dengan cara apa ia harus mengungkapkan perasaannya sekarang. Begitu dilematis, antara cinta, tuntutan, harapan yang tak dapat ia raih dan masa depan. Tara hanya bisa menangis, menyaksikan Risma yang beranjak meninggalkan dirinya di kamar yang sekarang terasa begitu pengap.Sepengap celah di jantungnya hingga menyempit di rongga dada dan mencekat di lehernya.

Pernikahan untuknya adalah sesuatu yang sangat agung dan indah. Begitu sakral dan hanya bisa dilandasi oleh dasar yang juga agung. Dan satu-satunya keagungan itu adalah cinta. Naif. Tara memang sangat naif. Terlebih di usianya yang sudah kepala tiga. Cara berpikirnya mungkin lebih mirip seorang remaja yang baru mengenal cinta. Walau dirinya cukup mengerti tak hanya modal cinta untuk membangun sebuah pernikahan. Tapi banyak faktor yang terlibat. Keluarga, agama, pendidikan, cara berpikir yang membentuk karakter seseorang untuk menjadi seorang imam dalam keluarga, begitupun sebaliknya. Pertanyaannya adalah haruskah dirinya menikah hanya karena faktor kompromi ataupun karena tuntutan usia?

Tapi pernikahan juga adalah ibadah, dan pertanyaannya  bagaimana sesuatu yang indah bisa menjadi ibadah jika di dalamnya hanya ada keterpaksaan? Bagaimana seorang istri bisa berbakti kepada suami dengan ikhlas jika suami itu bukanlah seseorang yang dicintainya? Jika hati itu terlanjur dimiliki oleh pria lain? Pengkhianatan secara tak langsung bukan? Karena pernikahan juga adalah ikatan emosi terdalam antara dua individu yang saling membutuhkan dan mengisi satu sama lain. Pernikahan tak hanya soal status dan kewajiban. Tak hanya tentang memberi dan diberi, tapi tentang keikhlasan terdalam dan itu adalah cinta yang nyata! Tara tak mampu membayangkan jika dirinya harus tidur dengan pria yang tak dicintainya. Disentuh dan wajib melayani atas dasar kewajiban dan patuh. Kenapa? Karena dirinya bukanlah boneka. Tidakkah itu dosa namanya? Alih-alih mendapat pahala malah mendapat murka!

Ingin sekali Tara menjerit. Merasakan kekosongan itu merebak di setiap kisi. Ingin ia meneriakkan pada tiang-tiang dan merobek segala kesenyapan yang merambat.
Jauh di hatinya yang rapuh seperti serpihan kayu sisa gergaji. Terkikis tipis oleh waktu dan tuntutan. Namun, apa daya jika kenyataan telah terlanjur menempatkan jiwanya pada sebuah perangkap yang takkan mungkin dimengerti oleh siapapun. Cinta yang bodohkah namanya? Atau cinta gila mirip judul lagu-lagu komersil yang beredar di pasaran? Pertanyaannya, benarkah kebodohan dan kegilaan itu cinta?

Risma meninggalkan rumah Tara dan tak pernah memberi kabar lagi padanya. Bahkan berminggu-minggu setelah kejadian itu, telepon Tara tak pernah lagi diangkat. Selalu jawaban sama yang ditinggalkan oleh mesin penjawab. Namun, entah dengan cara apa Tara seolah mengerti kesalahan itu. Sesuatu yang membuatnya merasa bersalah...... Pada sahabatnya.....pada Kak Anton.......

Tara ingin memaki dirinya karena tak pernah berani mengambil keputusan itu. Melupakan sama sekali atau justru memperjuangkan cinta yang sudah bertahun-tahun menggumpal di dadanya. Mungkin sekaranglah ia harus membuat pilihan agar hatinya tak terlunta lebih lama. Keputusan yang dapat sangat berpengaruh pada hidupnya..... Keputusan tentang cinta dan masa depan. Atau tepatnya antara hidup dan mati. Karena cinta itu adalah nyawa yang terlanjur membungkus jiwanya yang tertatih.

Bayangan itu kembali hadir di benak Tara.... Perempuan setengah baya, renta dan beruban yang duduk di pinggir jendela tatkala sore menjelang. Gelisah menantikan matahari terbenam. Di tangannya tergantung tasbih lusuh dari biji-biji yang sudah kehilangan warna. Mirip dengan si pemegangnya yang sudah termakan usia. Perempuan renta itu sesekali menatap ke arah langit dan mencari gumpalan-gumpalan awan yang tersisa. Seolah mencari asa yang tertinggal di masa lalu. Mungkin terkubur tapi tak sepenuhnya hancur.... Dan sinar redup itu menggoda batinnya andai ia tak bermain dengan waktu, tak menyia-nyiakan segalanya, andai dirinya tak terlalu pengecut mengejar impian hatinya.... Hanya sanggup membayangkan seperti apa rupa kekasih hatinya kini? Beruban di tempat yang entah tak tahu di mana rimbanya? Menyalahkan diri andai dulu ia berani....pada cinta itu yang memberinya amanat.....

Kosong...... 

Tara paling mengerti jika wanita renta itu mungkin gambaran dirinya. Tidak...dirinya tak ingin mereka-reka. Terlalu menakutkan.....Mungkin hal inilah yang membuatnya enggan menerima lamaran Kak Anton. Tak ingin mengambil risiko dengan cinta. Mereka bilang, cinta dapat datang setelah menikah..... Bagaimana jika tidak?     


    **********





  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar