Ketika angin berhembus sepoi-sepoi di
antara celah
Menelisik ruang merambat dalam diam
Laksana kobar pelita dalam jeram
Hitam terang
Ruang tertelungkup
Bisu……………….
Jiwa terperangah lecut
Tersandar pertanyaan-pertanyaan kabut
Menggumam tak nampak jawaban
Bilakah……………
Resah tersadar dan menghindar?
Membara menghilang mencuat menapak
Satu-satu
Terperangkap
Masih tanpa jawaban
Kah?
Mereka-reka di antara deretan hantu
Pada
Senyuman,
Pada
Lukisan wajah,
Pada
Diam………………
Bilur menganga tergurat keangkuhan
Pucat
Mencari titik di antara padang
Teka-teki
********
Sore itu warna langit tampak memerah, rumput kering
menyeringai di antara kembara. Tiur merapatkan pikirannya di antara segudang
teka-teki yang telah mengganggunya sejak sebulan lalu. Ada sesuatu yang akhirnya menghempas jiwanya
dalam renai galau. Kebekuan membuncah. Menyergap alam sadarnya ke titik jenuh.
Seketika ingatannya kembali pada peristiwa beberapa
tahun silam. Sementara pekik burung liar mulai berhamburan balik ke sarang.
Waktu itu Mang Bujang, paman yang telah mengasuhnya sejak kecil, menatapnya
dengan pandangan memelas. Wajah cekungnya terlihat dalam.
“Yur..Mang harap kau mau mengabulkan permohonan Mamang
kali ini.”
“Tapi Mang…Tiur harus memikirkan hal ini dulu. Mamang kan tahu bagaimana perasaan Tiur kepada Mida. Tiur
sangat sayang dan mencintai Mida, Mang...”
“Walau Tiur juga sangat menghormati dan menyayangi Mamang
tak ubahnya seperti Bapak sendiri. Tiur berkewajiban untuk membahagiakan Mamang…Tapi
Mida adalah segalanya buat Tiur, nyawa Tiur…….” Tiur menarik nafas dalam.
Jiwanya serasa sesak ibarat nafas berpindah raga.
“Amangmu ini sangat menyesal Yur, seandainya ternak ayam
kita tak gagal tahun lalu dan andai Amangmu tak menerima pinjaman dari Ayahnya
Mida, mungkin kita tak harus berhutang budi seperti ini dan mengorbankan
kebahagiaanmu, Nak…” Mang Bujang tak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia orang
yang paling mengetahui betapa Mida adalah hidup Tiur. Dan kebahagiaan itu kini
harus terampas oleh tangannya sendiri. Orang yang seharusnya memberikan
segalanya buat Tiur. Karena janjinya pada Ayah Tiur 25 tahun silam. Dengan
sepenuh hati ia mendekap Tiur erat.
“Maafkan Mamang Yur…maafkan Amangmu ini…” ujarnya
terbata.
“Pak Yurdan, ayahnya Mida kemarin mendesak amang lagi.
Kali ini ia benar-benar marah, ia sungguh tidak merestui hubungan kalian. Ia
ingin kau pergi dari kampung kita. Bahkan ia sudah mengancam Amang, Yur. Mamang
sungguh tak tahu lagi harus berbuat apa….”
Masih terkenang oleh Tiur, gambaran beban yang tergurat
di wajah pamannya saat harus menyampaikan berita itu. Tiur tak sanggup menahan
sedihnya lebih lama, egonya sebagai lelaki memaksanya untuk tegar dan tak
menitikkan air mata. Sekuat tenaga ia berusaha mengatup gerahamnya rapat-rapat.
Berusaha menekan segala kegundahan atas ketakadilan yang menimpanya. Namun
sebagai manusia yang lemah, betapa kekuatannya lenyap saat harus berpisah dan
meninggalkan orang-orang yang dikasihinya. Lebih parah karena tuntutan orang
lain. Hal terbesar yang paling ditakutinya kini telah datang. Kehilangan!
Kenapa waktu begitu kejam?
Angin semilir menyelinap di antara angan dan memori
Tiur. Riak anak sungai tak putus menarik kesunyian dalam jiwa yang terlunta.
Matahari merah mulai menghitam. Di kejauhan suara Adzan mulai mengumandang.
Tiur terperangah sesaat. Namun langkah kakinya terasa gontai tak beranjak.
Begitu besar pengorbanannya empat tahun silam. Masih
terlintas seperti rekaman yang berulang, suara itu, isak tangis Mida saat ia
harus memutuskan untuk berpisah dan meninggalkannya. Gadis itu tak pernah tahu
jika semua adalah keterpaksaan. Melepasnya seperti kehilangan nafas yang hidup
dan kebahagiaan sejati. Tanpanya yang ada hanyalah hampa. Hal yang paling
disesalinya kenapa ia harus berpura-pura? Agar Mida membencinya? Sejenak Tiur
menghela nafas, tidak, mungkin itu bukanlah sesuatu yang harus disesali.
Cintanya begitu suci dan tulus untuk gadis itu. Tiur tak ingin jiwanya yang
halus terluka. Lebih baik ia membencinya daripada menitikkan air mata karena
cinta yang tak direstui orang tua. Tiur tak ingin menjadikan jiwanya yang
seperti salju menjadi keruh di antara dua dilema. Cinta atau kepatuhan!
Kaki langit menancap
warna hitam redup. Sekelabu nuansa hati Tiur dalam variasi hitam putih.
Selama empat tahun semenjak ia menjejakkan kakinya di kota Metropolitan dan menanggalkan segala
cinta dan pengharapannya, jiwanya menjadi sekeras cadas, hatinya tak lebih
gumpalan es yang mengeras. Raga Tiur seperti mesin yang berbalut kulit, tanpa
rasa. Karena rasa itu telah direnggut paksa! Tak ada lagi ketakutan karena
ketakutan telah dihadapinya. Apalah arti raga yang hina, jiwa yang hampa? Cinta
telah kosong! Harapan telah menjauh hanya menyisakan setitik senyum hangat Mida
yang masih melekat dalam ruang yang masih utuh. Ruang yang akan selalu terjaga
indah dalam kalbu terdalam Tiur.
Alunan Adzan membahana di celah-celah langit, mengusik
rindu terdalam untuk pulang. Ion bergetar dalam setiap tarikan nafas. Mengurai
kesedihan dan menghempas keangkuhan anak manusia. Tiur merasakan jiwanya penuh
dosa. Tiur bukan lagi Tiur. Tiur telah mati dalam kematian yang menyakitkan. Nuraninya
yang terdalam memaksanya untuk kembali, kepada tarikan Ilahi Yang Maha Suci.
Selama empat tahun di kota adalah pelarian, tangan-tangan setan
telah menariknya dalam lingkaran tanpa akhir. Kehidupan keras sebagai preman
jalanan yang tak pernah mengenal takut dan iba. Semua adalah pembalasan!
Bukankah ia sudah meninggalkan semuanya? Kampung, kehangatan keluarga dan cinta
sejati…Tanpa kabar lagi setelah empat tahun sudah.
Namun sebulan lalu, entah kebetulan apa, nasib
mempertemukannya dengan Sakban, salah
seorang penduduk di desanya terdahulu.
Seseorang yang pernah dikenalnya cukup dekat, ingatannya kembali pada masa saat
ia dan Sakban pergi bersama tatkala Maghrib tiba. Menuju Masjid Ar-Rahmah,
menghantar langkah dengan doa-doa dan ketaatan. Sesuatu yang dirindukannya
kini. Sesuatu yang telah hilang karena jiwanya terperangkap dalam kematian
jalang.
Terngiang di telinganya, kata demi kata meluncur dari
mulut Sakban membawakan kabar dari rumah. Kabar yang membuatnya terhenyak tak
berdaya dan menyesal!
“Begitulah Yur…setahun lebih semenjak kau berangkat ke kota , keadaan Mang Bujang
semakin memburuk. Beliau selalu bercerita tentang engkau. Betapa ia sangat
menyesal dan sangat merasa bersalah padamu. Air matanya selalu menetes saat ia
menceritakan keluh hatinya padaku. Beliau tahu Yur kita berdua adalah sahabat
sejak kecil, Beliau mengakui dengan melihatku kerinduannya sedikit banyak
terobati,” Sakban tak kuasa menahan haru hatinya saat menyampaikan cerita sedih
itu.
“Mang Bujang selalu menunggu berita darimu. Beliau
sangat mengharapkan kepulanganmu, terlebih saat-saat terakhirnya Yur. Selama
beberapa tahun asmanya memburuk. Beliau sesak nafas dan akhirnya beliau
dipanggil Yang Maha Kuasa.”
“Sampai akhir hayatnya, beliau menitipkan pesan padaku,
seandainya masih ada asa dan kuasa diberikan Allah, pesan terakhir beliau,
memintamu pulang Yur. Pulang ke Puding Besar.” Kali ini tatapannya penuh harap
ke arah Tiur yang membisu. “Demi Mang Bujang, Yur. Itu adalah pesan terakhirnya
untukmu. Jika kau benar-benar menyayanginya, sebaiknya kau segera pulang dan
mengurus rumah Amangmu di kampung. Rumah itu sekarang tampak terbengkalai.”
Sejenak keduanya terdiam tanpa kata. Terhenyak dalam
kebekuan dan pikiran masing-masing yang tak terungkap. Tiur bingung. Haruskah
dirinya kembali? Pertanyaan itu menggumpal ke permukaan. Kencang merasuki
saraf-saraf otaknya.
Memperhatikan sikap Tiur yang seolah ragu, Sakban
menarik nafas panjang. Seolah mempersiapkan bahan baru untuk diungkapkan kepada
sahabatnya itu.
“Yur…” ujarnya perlahan.
“Kau tidak ingin mengetahui bagaimana kabar Mida
sekarang?” Kata-kata itu ibarat halilintar di telinga Tiur, dengan rasa ingin
tahu yang bergejolak ia berusaha menutupi segala rasa hatinya dari Sakban.
Namun, sahabatnya bukanlah orang yang mudah dibohongi dengan mudah. Ia paling
mengerti bagaimana peristiwa empat tahun silam telah memberikan perubahan besar
bagi Tiur.
Penampilan Tiur tak lagi tampan dan rapi memikat. Tak
lagi bersahaja dan terlihat bersih seperti dulu. Tiur sekarang yang ada di
hadapannya benar-benar terlihat kasar dan keras. Rambutnya yang ikal dibiarkan
saja gondrong sebahu. Walau ia dapat menangkap titik-titik kesedihan yang
tersisa di wajah itu. Seolah tak membutuhkan persetujuan lebih lanjut, Sakban
menatap Tiur lekat-lekat.
“Sebulan setelah kau berangkat ke kota Yur, Mang Yurdan menjodohkan Mida dengan
Samsul, anak Kepala Desa kita.”
Dalam hati Tiur sudah menduga semua itu. Sejak dulu Samsul
memang menaruh hati pada Mida. Bahkan sejak masa mereka masih di Sekolah
Menengah. Berkelahi dengannya pun pernah gara-gara preman kampung itu sok nekat
mengganggu Mida. Aneh, padahal Bapaknya orang terpandang dan disegani. Sayang,
kebijaksanaan itu tak menurun. Tiur menelan ludah.
“Apa Mida bahagia, Ban?” Perlahan pertanyaan itu
meretas, membawa beban yang membuncah di dada Tiur. Satu kata yang ingin
didengar olehnya. Iya, Mida bahagia. Mungkin itulah harapan dan mimpi terindah
bagi hidup Tiur. Satu-satunya pemberi semangat bagi langkah jiwanya yang
gontai, pemberi kesejukan tatkala mentari membakar kulitnya dalam kepenatan dan
lelah. Senyum Mida! Sentuhan magis dalam imajinasi, membayangkan Mida dan
teriakan kecil anak-anaknya yang lucu. Ah….
“Mida ….menjadi tak waras Yur?” Sakban beringsut dari
tempat duduknya. Tangannya terkepal erat. “Kisah yang panjang dan tragis…” Sakban
menambahkan. “Mida menolak perjodohan itu. Dia ingin menyusulmu ke kota , tapi rencana itu
sepertinya diketahui Mang Yurdan. Aku tak menyangka orang tua itu tega pada
anaknya sendiri. Anak gadis satu-satunya lagi. Ia mengurung Mida di rumah. Tak
mengizinkannya keluar jika tidak ditemani. Mirip orang pesakitan yang harus
dikawal dan dijaga ketat. Lalu….” Sakban menghentikan kata-katanya sejenak.
Roman Tiur tak lagi sama di wajahnya yang menghitam. Nafasnya membungkal.
“Apa?! Cepat katakan padaku, Ban!” Spontan Tiur menarik
kerah baju Sakban hingga ia terangkat dari duduknya. Sakban tergagap, kaget
melihat ekspresi Tiur yang berlebihan terhadapnya.
“Maaf Ban…aku terbawa suasana.” Wajah Tiur mulai melunak.
“Maaf Ban…aku terbawa suasana.” Wajah Tiur mulai melunak.
“Begini Yur, Mida nekat bunuh diri…Ia meloncat dari atap
rumahnya. Semua tak mempercayai apa yang ia lakukan, tapi begitulah adanya.”
“Tapi syukurlah jiwanya tertolong, hanya semenjak kejadian
itu, pikirannya menjadi tak biasa. Mungkin karena pengaruh gegar otak yang
parah atau apa, entahlah… Mida seperti bukan dirinya yang dulu. Ia tak pernah
bicara lagi, Yur. Tatapan matanya kosong entah di mana.”
“Kau tahu Ranti kan ?
Ia sekarang bekerja pada Mang Yurdan, khusus mengurus Mida...” Sakban kali ini
terdiam, menantikan kata-kata keluar dari mulut Tiur. Tapi yang ia dapati
hanyalah gemeretak gigi dan wajah
hitamnya!
**********
Pagi itu suasana masih berkabut. Tetes embun melekat di
pori-pori daun. Seperti mimpi saat Tiur menyadari kini langkahnya tertancap
pada tanah kelahirannya. Sejenak ia terpaku memandang sekitar di antara desau
angin dan gerah hasratnya yang membeku. Akhirnya ia pulang. Pada sobekan kisah
yang tercecar dalam rentetan waktu. Pada kasih, pada kenangan, pada luka, pada
cinta, pada Mida!
Saat mengingat nama itu, ada sesuatu yang memaksa
langkahnya terus menapak. Kali ini tekadnya bulat, menyentuh asa tertinggi yang
menggelepar selama bertahun sudah. Tepatnya menjemput puing-puing yang masih
tersisa. Berharap masih ada setitik kebahagiaan yang ditinggalkan untuknya oleh
sang nasib.
Di depannya kini berdiri rumah tua yang nampak lusuh.
Daun-daun kering berserakan menutupi pelataran kecil yang dulu biasa
dilewatinya. Pohon rambutan tua di halaman samping masih tetap rindang. Hanya
sentuhan saja yang hilang dari semua itu.
Tiur menghirup nafas dalam-dalam. Merasakan aura masa lalu di setiap
sudut. Sungguh tak sama lagi, tapi harapannya telah pasti takkan ia biarkan
terkubur layu. Seperti dulu….
*********
Tak pernah ia mengira, senyuman yang selalu ada dalam
benak dan khayalnya kini telah berganti warna. Begitu cepat. Sekelam bayangan
senja hari yang semakin menukik. Di kejauhan, di antara alunan adzan yang
memanggil, Tiur merapatkan kekuatannya untuk menerima apapun yang terburuk.
Tebersit betapa ia telah jauh dari Keagungan Ilahi, dirinya merasa malu dan
rendah untuk mengadukan segala ketakutan dan kegelisahan yang bersarang di
balik dosa-dosanya yang angkuh. Tiur malu! Satu kata yang membuatnya serasa
bergetar. Masihkah Tuhan bersamanya?
Di seberang, Masjid Ar Rahmah masih berdiri agung
seperti dulu, syaf-syaf pun mulai terisi, menarik langkah Tiur semakin
mendekat. Jiwanya telah merasakan kelelahan yang panjang. Jamaah Magrib yang
paling berkesan sekaligus menyedihkan di hati Tiur. Pertobatan dan penyesalan!
*********
Cinta!
Cinta itu di hadapannya kini. Duduk termangu menatap
Tiur seperti orang asing. Tak bergerak di kursi rodanya seperti lumpuh. Otak
dan fisiknya. Tanpa kata. Terselubung awan kelabu yang tebal hingga tak
tersentuh. Air mata Tiur menetes satu-satu. Cinta dan harapannya untuk Mida
menadi biru dalam seonggok jasad yang indah namun rapuh tak berdaya!
Mang Yurdan telah mengizinkan Tiur menemui Mida. Bahkan
lebih dari itu, anehnya juragan timah itu sama sekali tak keberatan dengan niat
Tiur mempersunting anak gadis satu-satunya. Wajah kerasnya tak nampak lagi
berkuasa seperti dulu. Melainkan wajah tua yang menanggung beban yang dalam.
Minggu depan rencana pernikahan itu akan dilangsungkan. Kebahagiaan sekaligus
kesedihan bagi Tiur!
Apakah Mida mengenalinya sekarang? Mengenali jika ia
telah kembali membawa harapan terpendam
sejak bertahun-tahun? Impian dan kesetiaan yang hanya terwujud untuknya?
Cinta!
Tidakkah Mida mengenali perasaan yang ia gambarkan pada setiap kegilaannya yang menghentak. Pada debu dan deru pencakar langit ketika ia masih dikota ?
Kerinduan yang ia titipkan pada arus sungai di jembatan yang biasa ditatapnya
tatkala senja mulai meniti hari? Bayangan senja adalah bayangan Mida. Lukisan
langit yang berpetak adalah Mida. Cinta bagi Tiur adalah Mida.
Cinta abadi!
*******************
Tidakkah Mida mengenali perasaan yang ia gambarkan pada setiap kegilaannya yang menghentak. Pada debu dan deru pencakar langit ketika ia masih di
Cinta abadi!
*******************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar