Kamis, 19 Februari 2015

Bayangan Senja Hari


Ketika angin berhembus sepoi-sepoi di antara celah
Menelisik ruang merambat dalam diam
Ada keheningan mencuat
Laksana kobar pelita dalam jeram
Hitam terang
Ruang tertelungkup
Bisu……………….

Jiwa terperangah lecut
Tersandar pertanyaan-pertanyaan kabut
Menggumam tak nampak jawaban
Bilakah……………
Resah tersadar dan menghindar?

Membara menghilang mencuat menapak
Satu-satu
Terperangkap

Masih tanpa jawaban
Kah?
Mereka-reka di antara deretan hantu

Pada
Senyuman,
Pada
Lukisan wajah,
Pada
Diam………………

Bilur menganga tergurat keangkuhan
Pucat                                 
Mencari titik di antara padang
Teka-teki
********

Sore itu warna langit tampak memerah, rumput kering menyeringai di antara kembara. Tiur merapatkan pikirannya di antara segudang teka-teki yang telah mengganggunya sejak sebulan lalu. Ada sesuatu yang akhirnya menghempas jiwanya dalam renai galau. Kebekuan membuncah. Menyergap alam sadarnya ke titik jenuh.

Seketika ingatannya kembali pada peristiwa beberapa tahun silam. Sementara pekik burung liar mulai berhamburan balik ke sarang. Waktu itu Mang Bujang, paman yang telah mengasuhnya sejak kecil, menatapnya dengan pandangan memelas. Wajah cekungnya terlihat dalam.

“Yur..Mang harap kau mau mengabulkan permohonan Mamang kali ini.”

“Tapi Mang…Tiur harus memikirkan hal ini dulu. Mamang kan tahu  bagaimana perasaan Tiur kepada Mida. Tiur sangat sayang dan mencintai Mida, Mang...”

“Walau Tiur juga sangat menghormati dan menyayangi Mamang tak ubahnya seperti Bapak sendiri. Tiur berkewajiban untuk membahagiakan Mamang…Tapi Mida adalah segalanya buat Tiur, nyawa Tiur…….” Tiur menarik nafas dalam. Jiwanya serasa sesak ibarat nafas berpindah raga.

“Amangmu ini sangat menyesal Yur, seandainya ternak ayam kita tak gagal tahun lalu dan andai Amangmu tak menerima pinjaman dari Ayahnya Mida, mungkin kita tak harus berhutang budi seperti ini dan mengorbankan kebahagiaanmu, Nak…” Mang Bujang tak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia orang yang paling mengetahui betapa Mida adalah hidup Tiur. Dan kebahagiaan itu kini harus terampas oleh tangannya sendiri. Orang yang seharusnya memberikan segalanya buat Tiur. Karena janjinya pada Ayah Tiur 25 tahun silam. Dengan sepenuh hati ia mendekap Tiur erat.

“Maafkan Mamang Yur…maafkan Amangmu ini…” ujarnya terbata.

“Pak Yurdan, ayahnya Mida kemarin mendesak amang lagi. Kali ini ia benar-benar marah, ia sungguh tidak merestui hubungan kalian. Ia ingin kau pergi dari kampung kita. Bahkan ia sudah mengancam Amang, Yur. Mamang sungguh tak tahu lagi harus berbuat apa….”

Masih terkenang oleh Tiur, gambaran beban yang tergurat di wajah pamannya saat harus menyampaikan berita itu. Tiur tak sanggup menahan sedihnya lebih lama, egonya sebagai lelaki memaksanya untuk tegar dan tak menitikkan air mata. Sekuat tenaga ia berusaha mengatup gerahamnya rapat-rapat. Berusaha menekan segala kegundahan atas ketakadilan yang menimpanya. Namun sebagai manusia yang lemah, betapa kekuatannya lenyap saat harus berpisah dan meninggalkan orang-orang yang dikasihinya. Lebih parah karena tuntutan orang lain. Hal terbesar yang paling ditakutinya kini telah datang. Kehilangan! Kenapa waktu begitu kejam?

Angin semilir menyelinap di antara angan dan memori Tiur. Riak anak sungai tak putus menarik kesunyian dalam jiwa yang terlunta. Matahari merah mulai menghitam. Di kejauhan suara Adzan mulai mengumandang. Tiur terperangah sesaat. Namun langkah kakinya terasa gontai tak beranjak.

Begitu besar pengorbanannya empat tahun silam. Masih terlintas seperti rekaman yang berulang, suara itu, isak tangis Mida saat ia harus memutuskan untuk berpisah dan meninggalkannya. Gadis itu tak pernah tahu jika semua adalah keterpaksaan. Melepasnya seperti kehilangan nafas yang hidup dan kebahagiaan sejati. Tanpanya yang ada hanyalah hampa. Hal yang paling disesalinya kenapa ia harus berpura-pura? Agar Mida membencinya? Sejenak Tiur menghela nafas, tidak, mungkin itu bukanlah sesuatu yang harus disesali. Cintanya begitu suci dan tulus untuk gadis itu. Tiur tak ingin jiwanya yang halus terluka. Lebih baik ia membencinya daripada menitikkan air mata karena cinta yang tak direstui orang tua. Tiur tak ingin menjadikan jiwanya yang seperti salju menjadi keruh di antara dua dilema. Cinta atau kepatuhan!

Kaki langit menancap  warna hitam redup. Sekelabu nuansa hati Tiur dalam variasi hitam putih. Selama empat tahun semenjak ia menjejakkan kakinya di kota Metropolitan dan menanggalkan segala cinta dan pengharapannya, jiwanya menjadi sekeras cadas, hatinya tak lebih gumpalan es yang mengeras. Raga Tiur seperti mesin yang berbalut kulit, tanpa rasa. Karena rasa itu telah direnggut paksa! Tak ada lagi ketakutan karena ketakutan telah dihadapinya. Apalah arti raga yang hina, jiwa yang hampa? Cinta telah kosong! Harapan telah menjauh hanya menyisakan setitik senyum hangat Mida yang masih melekat dalam ruang yang masih utuh. Ruang yang akan selalu terjaga indah dalam kalbu terdalam Tiur.

Alunan Adzan membahana di celah-celah langit, mengusik rindu terdalam untuk pulang. Ion bergetar dalam setiap tarikan nafas. Mengurai kesedihan dan menghempas keangkuhan anak manusia. Tiur merasakan jiwanya penuh dosa. Tiur bukan lagi Tiur. Tiur telah mati dalam kematian yang menyakitkan. Nuraninya yang terdalam memaksanya untuk kembali, kepada tarikan Ilahi Yang Maha Suci.

Selama empat tahun di kota adalah pelarian, tangan-tangan setan telah menariknya dalam lingkaran tanpa akhir. Kehidupan keras sebagai preman jalanan yang tak pernah mengenal takut dan iba. Semua adalah pembalasan! Bukankah ia sudah meninggalkan semuanya? Kampung, kehangatan keluarga dan cinta sejati…Tanpa kabar lagi setelah empat tahun sudah.

Namun sebulan lalu, entah kebetulan apa, nasib mempertemukannya  dengan Sakban, salah seorang penduduk  di desanya terdahulu. Seseorang yang pernah dikenalnya cukup dekat, ingatannya kembali pada masa saat ia dan Sakban pergi bersama tatkala Maghrib tiba. Menuju Masjid Ar-Rahmah, menghantar langkah dengan doa-doa dan ketaatan. Sesuatu yang dirindukannya kini. Sesuatu yang telah hilang karena jiwanya terperangkap dalam kematian jalang.

Terngiang di telinganya, kata demi kata meluncur dari mulut Sakban membawakan kabar dari rumah. Kabar yang membuatnya terhenyak tak berdaya dan menyesal!

“Begitulah Yur…setahun lebih semenjak kau berangkat ke kota, keadaan Mang Bujang semakin memburuk. Beliau selalu bercerita tentang engkau. Betapa ia sangat menyesal dan sangat merasa bersalah padamu. Air matanya selalu menetes saat ia menceritakan keluh hatinya padaku. Beliau tahu Yur kita berdua adalah sahabat sejak kecil, Beliau mengakui dengan melihatku kerinduannya sedikit banyak terobati,” Sakban tak kuasa menahan haru hatinya saat menyampaikan cerita sedih itu.

“Mang Bujang selalu menunggu berita darimu. Beliau sangat mengharapkan kepulanganmu, terlebih saat-saat terakhirnya Yur. Selama beberapa tahun asmanya memburuk. Beliau sesak nafas dan akhirnya beliau dipanggil Yang Maha Kuasa.”

“Sampai akhir hayatnya, beliau menitipkan pesan padaku, seandainya masih ada asa dan kuasa diberikan Allah, pesan terakhir beliau, memintamu pulang Yur. Pulang ke Puding Besar.” Kali ini tatapannya penuh harap ke arah Tiur yang membisu. “Demi Mang Bujang, Yur. Itu adalah pesan terakhirnya untukmu. Jika kau benar-benar menyayanginya, sebaiknya kau segera pulang dan mengurus rumah Amangmu di kampung. Rumah itu sekarang tampak terbengkalai.”

Sejenak keduanya terdiam tanpa kata. Terhenyak dalam kebekuan dan pikiran masing-masing yang tak terungkap. Tiur bingung. Haruskah dirinya kembali? Pertanyaan itu menggumpal ke permukaan. Kencang merasuki saraf-saraf otaknya.

Memperhatikan sikap Tiur yang seolah ragu, Sakban menarik nafas panjang. Seolah mempersiapkan bahan baru untuk diungkapkan kepada sahabatnya itu.

“Yur…” ujarnya perlahan.

“Kau tidak ingin mengetahui bagaimana kabar Mida sekarang?” Kata-kata itu ibarat halilintar di telinga Tiur, dengan rasa ingin tahu yang bergejolak ia berusaha menutupi segala rasa hatinya dari Sakban. Namun, sahabatnya bukanlah orang yang mudah dibohongi dengan mudah. Ia paling mengerti bagaimana peristiwa empat tahun silam telah memberikan perubahan besar bagi Tiur.

Penampilan Tiur tak lagi tampan dan rapi memikat. Tak lagi bersahaja dan terlihat bersih seperti dulu. Tiur sekarang yang ada di hadapannya benar-benar terlihat kasar dan keras. Rambutnya yang ikal dibiarkan saja gondrong sebahu. Walau ia dapat menangkap titik-titik kesedihan yang tersisa di wajah itu. Seolah tak membutuhkan persetujuan lebih lanjut, Sakban menatap Tiur lekat-lekat.

“Sebulan setelah kau berangkat ke kota Yur, Mang Yurdan menjodohkan Mida dengan Samsul, anak Kepala Desa kita.”

Dalam hati Tiur sudah menduga semua itu. Sejak dulu Samsul memang menaruh hati pada Mida. Bahkan sejak masa mereka masih di Sekolah Menengah. Berkelahi dengannya pun pernah gara-gara preman kampung itu sok nekat mengganggu Mida. Aneh, padahal Bapaknya orang terpandang dan disegani. Sayang, kebijaksanaan itu tak menurun. Tiur menelan ludah.

“Apa Mida bahagia, Ban?” Perlahan pertanyaan itu meretas, membawa beban yang membuncah di dada Tiur. Satu kata yang ingin didengar olehnya. Iya, Mida bahagia. Mungkin itulah harapan dan mimpi terindah bagi hidup Tiur. Satu-satunya pemberi semangat bagi langkah jiwanya yang gontai, pemberi kesejukan tatkala mentari membakar kulitnya dalam kepenatan dan lelah. Senyum Mida! Sentuhan magis dalam imajinasi, membayangkan Mida dan teriakan kecil anak-anaknya yang lucu. Ah….

“Mida ….menjadi tak waras Yur?” Sakban beringsut dari tempat duduknya. Tangannya terkepal erat. “Kisah yang panjang dan tragis…” Sakban menambahkan. “Mida menolak perjodohan itu. Dia ingin menyusulmu ke kota, tapi rencana itu sepertinya diketahui Mang Yurdan. Aku tak menyangka orang tua itu tega pada anaknya sendiri. Anak gadis satu-satunya lagi. Ia mengurung Mida di rumah. Tak mengizinkannya keluar jika tidak ditemani. Mirip orang pesakitan yang harus dikawal dan dijaga ketat. Lalu….” Sakban menghentikan kata-katanya sejenak. Roman Tiur tak lagi sama di wajahnya yang menghitam. Nafasnya membungkal.

“Apa?! Cepat katakan padaku, Ban!” Spontan Tiur menarik kerah baju Sakban hingga ia terangkat dari duduknya. Sakban tergagap, kaget melihat ekspresi Tiur yang berlebihan terhadapnya.

 “Maaf Ban…aku terbawa suasana.” Wajah Tiur mulai melunak.

“Begini Yur, Mida nekat bunuh diri…Ia meloncat dari atap rumahnya. Semua tak mempercayai apa yang ia lakukan, tapi begitulah adanya.”

“Tapi syukurlah jiwanya tertolong, hanya semenjak kejadian itu, pikirannya menjadi tak biasa. Mungkin karena pengaruh gegar otak yang parah atau apa, entahlah… Mida seperti bukan dirinya yang dulu. Ia tak pernah bicara lagi, Yur. Tatapan matanya kosong entah di mana.”

“Kau tahu Ranti kan? Ia sekarang bekerja pada Mang Yurdan, khusus mengurus Mida...” Sakban kali ini terdiam, menantikan kata-kata keluar dari mulut Tiur. Tapi yang ia dapati hanyalah gemeretak gigi  dan wajah hitamnya!

**********

Pagi itu suasana masih berkabut. Tetes embun melekat di pori-pori daun. Seperti mimpi saat Tiur menyadari kini langkahnya tertancap pada tanah kelahirannya. Sejenak ia terpaku memandang sekitar di antara desau angin dan gerah hasratnya yang membeku. Akhirnya ia pulang. Pada sobekan kisah yang tercecar dalam rentetan waktu. Pada kasih, pada kenangan, pada luka, pada cinta, pada Mida!

Saat mengingat nama itu, ada sesuatu yang memaksa langkahnya terus menapak. Kali ini tekadnya bulat, menyentuh asa tertinggi yang menggelepar selama bertahun sudah. Tepatnya menjemput puing-puing yang masih tersisa. Berharap masih ada setitik kebahagiaan yang ditinggalkan untuknya oleh sang nasib.

Di depannya kini berdiri rumah tua yang nampak lusuh. Daun-daun kering berserakan menutupi pelataran kecil yang dulu biasa dilewatinya. Pohon rambutan tua di halaman samping masih tetap rindang. Hanya sentuhan saja yang hilang dari semua itu.
Tiur menghirup nafas dalam-dalam. Merasakan aura masa lalu di setiap sudut. Sungguh tak sama lagi, tapi harapannya telah pasti takkan ia biarkan terkubur layu. Seperti dulu….

*********

Tak pernah ia mengira, senyuman yang selalu ada dalam benak dan khayalnya kini telah berganti warna. Begitu cepat. Sekelam bayangan senja hari yang semakin menukik. Di kejauhan, di antara alunan adzan yang memanggil, Tiur merapatkan kekuatannya untuk menerima apapun yang terburuk. Tebersit betapa ia telah jauh dari Keagungan Ilahi, dirinya merasa malu dan rendah untuk mengadukan segala ketakutan dan kegelisahan yang bersarang di balik dosa-dosanya yang angkuh. Tiur malu! Satu kata yang membuatnya serasa bergetar. Masihkah Tuhan bersamanya?

Di seberang, Masjid Ar Rahmah masih berdiri agung seperti dulu, syaf-syaf pun mulai terisi, menarik langkah Tiur semakin mendekat. Jiwanya telah merasakan kelelahan yang panjang. Jamaah Magrib yang paling berkesan sekaligus menyedihkan di hati Tiur. Pertobatan dan penyesalan!

*********

Cinta!

Cinta itu di hadapannya kini. Duduk termangu menatap Tiur seperti orang asing. Tak bergerak di kursi rodanya seperti lumpuh. Otak dan fisiknya. Tanpa kata. Terselubung awan kelabu yang tebal hingga tak tersentuh. Air mata Tiur menetes satu-satu. Cinta dan harapannya untuk Mida menadi biru dalam seonggok jasad yang indah namun rapuh tak berdaya!

Mang Yurdan telah mengizinkan Tiur menemui Mida. Bahkan lebih dari itu, anehnya juragan timah itu sama sekali tak keberatan dengan niat Tiur mempersunting anak gadis satu-satunya. Wajah kerasnya tak nampak lagi berkuasa seperti dulu. Melainkan wajah tua yang menanggung beban yang dalam. Minggu depan rencana pernikahan itu akan dilangsungkan. Kebahagiaan sekaligus kesedihan bagi Tiur!

Apakah Mida mengenalinya sekarang? Mengenali jika ia telah kembali membawa harapan  terpendam sejak bertahun-tahun? Impian dan kesetiaan yang hanya terwujud untuknya? 

Cinta!

Tidakkah Mida mengenali perasaan yang ia gambarkan pada setiap kegilaannya yang menghentak. Pada debu dan deru pencakar langit ketika ia masih di kota? Kerinduan yang ia titipkan pada arus sungai di jembatan yang biasa ditatapnya tatkala senja mulai meniti hari? Bayangan senja adalah bayangan Mida. Lukisan langit yang berpetak adalah Mida. Cinta bagi Tiur adalah Mida. 

Cinta abadi!   

*******************





Tidak ada komentar:

Posting Komentar