Kehidupan adalah lingkaran yang bermula dari satu titik.
Rangkaian perjalanan yang pada akhirnya manusia akan dihadapkan pada kemajuan
atau kehancuran. Pikiran manusialah yang
menentukan. Dominasi kehendak sebagai interpretasi jiwa tanpa melupakan
landasan untuk berpijak yaitu kebenaran, kenyataan dan kesadaran.
Ironisnya, pemahaman manusia tentang hakikat kehidupan
selalu datang terlambat. Hal ini terjadi karena pengetahuan itu mengendap dalam
alam bawah sadar. Pemahaman akan terlahir jika goresan atas beberapa pengertian
dibangunkan oleh perasaan terdalam. Pengalaman dan bahkan benturan yang sangat
menyakitkan sekalipun. Sebuah contoh sederhana, seseorang takkan memahami bagaimana asinnya garam
meski ia tahu bahwa garam itu asin jika ia tidak pernah mencicipinya. Maka
konkrit kehidupanpun begitulah adanya. Tertanam di dalam jiwa dan menunggu
untuk dibangunkan. Oleh karena itu, setiap manusia sebenarnya adalah filsuf
bagi kehidupan. Tak heran jika Albert Einstein pernah mengatakan bahwa unsur
terkecil manusia yang bertenaga besar adalah penemuan dan pemahaman diri,
karena dari sana semua cita-cita dapat dicapai.
Perumpamaan kehidupan adalah bejana yang penuh berisi
air. Manusia memenuhi bejana itu dengan segala hal dan pristiwa tak ubahnya
seperti setiap tetes yang tertuang. Ada kesedihan, pengharapan, dilema,
kebahagiaan, hingga akhirnya ketika bejana itu tak mampu lagi menampung beban
di dalamnya maka ia akan tumpah. Bejana akan pecah jika dipecahkan dan memulai
proses dari awal kembali. Kiasan yang tak lazim memang tetapi kehidupan adalah
perlambang dari jiwa. Dalam prosesnya muncul pemberontakan yang menguap dari
titik jenuh oleh pencarian tentang hakikat diri dan kehidupan. Sekedar
pengetahuan dan pengertian belaka tak mampu memupus pemberontakan melainkan
hanyalah pemahaman saja. Di sinilah titik itu hadir dengan dua pilihan di kanan
kiri. Pemahaman untuk kemajuan ataukah penyesalan untuk kehancuran.
Meski terkesan sederhana, namun jalan dari proses
pengertian kepada pemahaman bagi manusia amatlah bergam masanya. Ada yang
singkat tetapi ada pula yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar
memahami sesuatu hal dan peristiwa serta menerimanya sebagai sebuah hikmah
kehidupan yang teramat berharga. Bagaimanapun manusia tetaplah manusia yang
selalu memiliki keterbatasan pemikiran,
pengetahuan dan pemahaman tentang hakikat pengetahuan itu sendiri.
Karena keterbatasan itu pulalah, acapkali manusia
berpikir telah memahami nilai-nilai kehidupan yang ada walau sebenarnya masih
banyak pintu kebijaksanaan yang belum terbuka. Bahkan belum terjamah karena
seringkali manusia terjebak oleh kebanggaan individualnya terhadap pemikiran
dan konsep pemahamannya sendiri. Justru kebanggan itulah yang akan menutupi
mutiara terindah sebuah kebijaksanaan.
Setiap hari, setiap waktu dan setiap peristiwa dari
setiap keadaan adalah pelajaran kehidupan yang seharusnya mengajari kita untuk melihat. Tidak hanya
dengan mata, namun merasakan dengan hati. Tidak untuk membuat batasan yang
sempit, namun memandang dengan sudut pandang yan lebih luas ke dalam. Kepada
kedalaman diri untuk tidak melihat sebuah permasalahan kehidupan hanya dari
satu sisi. Melainkan sebuah proses perpaduan antara keburukan dan kebaikan,
keterpurukan dan hikmah.
Mengetuk kesadaran batin agar tidak selalu ingin
menyalahkan apapun dan siapapun. Melihat dan merasakan agar benih-benih
kedewasaan di dalam jiwa yang timbul dari pergumulan hidup tidak terpasung dan
terkungkung. Pada kerapuhan yang menyebabkan hilangnya kedamaian. Karena dalam
kelemahan, manusia akan menindas jiwanya sendiri. Sedangkan untuk melihat dan
merasakan tidak diperlukan kepintaran yang melebihi rata-rata atau kecerdasan
otak yang briliant. Bukankah setiap manusia memiliki hati?
Intinya, adalah penggalian jiwa. Sebuah proses menemukan perkembangan batiniah dan
tujuan hidup. Keinginan untuk lebih mengenal tentang siapa diri kita
sesungguhnya, apa yang kita inginkan, mengapa ini terjadi, apa dan bagaimana
seharusnya. Dan berbagai pertanyaan lain
yang berhubungan dengan garis kehidupan yang kita jalani. Perkembangan tahap
kedewasaan untuk menyikapi kehidupan secara lebih baik dan positif.
Menerima diri
kita apa adanya. Menghargai setiap kelebihan dan kekurangan yang kita miliki. Termasuk
segala kelemahan dan keterbatasan dalam menyikapi makna kebijaksanaan. Bukankah
antara diri kita dan para guru bijak sekalipun berangkat dari sekolah yang
sama? Yaitu kehidupan. Kita mengenal dan merasakan materi pembelajaran yang
juga sama. Elemen perasaan manusia tidak akan pernah berubah sampai kapanpun.
Sama halnya seperti elemen kehidupan di alam. Ada ketakutan, pertentangan,
keragu-raguan, konflik dalam porsi tingkatan yang berbeda. Diri kita tidak
lebih lebih rendah ataupun tidak lebih bodoh dari siapapun. Karena pada setiap
individu bahkan dalam kebodohanpun manusia memiliki kemampuan yang terpendam.
Manusia menggemgam keinginan dan harapan dan hanya
manusia itu pulalah sahabat terbaik bagi dirinya sendiri. Tentu saja dengan
tidak melupakan konteks pengaruh lingkungan terhadap eksistensinya. Berpijak
pada logika sintetis, dalam keadaan terdesak bahkan menyakitkan sekalipun
sebenarnya manusia telah mempunyai solusinya jika ia mampu mengembangkan
pemikirannya. Dengan demikian, tentu saja tidak bisa dihindari nilai
objektifitas yang dominan. Hanya manusia itu sendirilah yang sebenarnya paling
mengerti tentang dirinya.
Tetapi seringkali manusia dijajah oleh egonya sendiri. Menuntut agar manusia
lainnya mau memahami dan mengerti tentang segala keinginannya. Dan jika tak
terwujud, timbullah penyiksaan atas jiwa itu. Kesedihan yang mendalam dan
pertentangan yang mau tak mau akan hadir tanpa diundang. Manusia yang satu
tidak hidup hanya untuk mengerti dan memahami keinginan dan segala hal tentang
manusia yang lain begitupun sebaliknya meski sesama manusia harus hidup bersama
secara damai. Manusia akan selalu kecewa
karena kepekaan untuk memahami orang lain hanyalah minoritas yang akan
tenggelam dalam lautan ego manusia itu
sendiri.
Seharusnya manusia
bertanya kepada dirinya masing-masing, sudahkah ia mengerti dan belajar
untuk memahami jiwa manusia yang lain? Jika belum, semestinya segala tuntutan
terhadap orang lain itu dipadamkan. Lalu sedikit demi sedikit belajar agar jiwa
yang dimiliki tidak terkekang oleh tuntutan-tuntutan terhadap siapapun. Belajar
untuk tidak terjebak oleh pola timbal balik dalam persepsi yang dangkal.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar