Kamis, 02 Januari 2014

Penggalian Jiwa

Kehidupan adalah lingkaran yang bermula dari satu titik. Rangkaian perjalanan yang pada akhirnya manusia akan dihadapkan pada kemajuan atau kehancuran. Pikiran manusialah  yang menentukan. Dominasi kehendak sebagai interpretasi jiwa tanpa melupakan landasan untuk berpijak yaitu kebenaran, kenyataan dan kesadaran.
Ironisnya, pemahaman manusia tentang hakikat kehidupan selalu datang terlambat. Hal ini terjadi karena pengetahuan itu mengendap dalam alam bawah sadar. Pemahaman akan terlahir jika goresan atas beberapa pengertian dibangunkan oleh perasaan terdalam. Pengalaman dan bahkan benturan yang sangat menyakitkan sekalipun. Sebuah contoh sederhana, seseorang takkan memahami bagaimana asinnya garam meski ia tahu bahwa garam itu asin jika ia tidak pernah mencicipinya. Maka konkrit kehidupanpun begitulah adanya. Tertanam di dalam jiwa dan menunggu untuk dibangunkan. Oleh karena itu, setiap manusia sebenarnya adalah filsuf bagi kehidupan. Tak heran jika Albert Einstein pernah mengatakan bahwa unsur terkecil manusia yang bertenaga besar adalah penemuan dan pemahaman diri, karena dari sana semua cita-cita dapat dicapai.
Perumpamaan kehidupan adalah bejana yang penuh berisi air. Manusia memenuhi bejana itu dengan segala hal dan pristiwa tak ubahnya seperti setiap tetes yang tertuang. Ada kesedihan, pengharapan, dilema, kebahagiaan, hingga akhirnya ketika bejana itu tak mampu lagi menampung beban di dalamnya maka ia akan tumpah. Bejana akan pecah jika dipecahkan dan memulai proses dari awal kembali. Kiasan yang tak lazim memang tetapi kehidupan adalah perlambang dari jiwa. Dalam prosesnya muncul pemberontakan yang menguap dari titik jenuh oleh pencarian tentang hakikat diri dan kehidupan. Sekedar pengetahuan dan pengertian belaka tak mampu memupus pemberontakan melainkan hanyalah pemahaman saja. Di sinilah titik itu hadir dengan dua pilihan di kanan kiri. Pemahaman untuk kemajuan ataukah penyesalan untuk kehancuran.
Meski terkesan sederhana, namun jalan dari proses pengertian kepada pemahaman bagi manusia amatlah bergam masanya. Ada yang singkat tetapi ada pula yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar memahami sesuatu hal dan peristiwa serta menerimanya sebagai sebuah hikmah kehidupan yang teramat berharga. Bagaimanapun manusia tetaplah manusia yang selalu memiliki keterbatasan  pemikiran, pengetahuan dan pemahaman tentang hakikat pengetahuan itu sendiri.
Karena keterbatasan itu pulalah, acapkali manusia berpikir telah memahami nilai-nilai kehidupan yang ada walau sebenarnya masih banyak pintu kebijaksanaan yang belum terbuka. Bahkan belum terjamah karena seringkali manusia terjebak oleh kebanggaan individualnya terhadap pemikiran dan konsep pemahamannya sendiri. Justru kebanggan itulah yang akan menutupi mutiara terindah sebuah kebijaksanaan.
Setiap hari, setiap waktu dan setiap peristiwa dari setiap keadaan adalah pelajaran kehidupan yang seharusnya mengajari kita untuk melihat. Tidak hanya dengan mata, namun merasakan dengan hati. Tidak untuk membuat batasan yang sempit, namun memandang dengan sudut pandang yan lebih luas ke dalam. Kepada kedalaman diri untuk tidak melihat sebuah permasalahan kehidupan hanya dari satu sisi. Melainkan sebuah proses perpaduan antara keburukan dan kebaikan, keterpurukan dan hikmah.
Mengetuk kesadaran batin agar tidak selalu ingin menyalahkan apapun dan siapapun. Melihat dan merasakan agar benih-benih kedewasaan di dalam jiwa yang timbul dari pergumulan hidup tidak terpasung dan terkungkung. Pada kerapuhan yang menyebabkan hilangnya kedamaian. Karena dalam kelemahan, manusia akan menindas jiwanya sendiri. Sedangkan untuk melihat dan merasakan tidak diperlukan kepintaran yang melebihi rata-rata atau kecerdasan otak yang briliant. Bukankah setiap manusia memiliki hati?
Intinya, adalah penggalian jiwa. Sebuah proses menemukan perkembangan batiniah dan tujuan hidup. Keinginan untuk lebih mengenal tentang siapa diri kita sesungguhnya, apa yang kita inginkan, mengapa ini terjadi, apa dan bagaimana seharusnya. Dan berbagai pertanyaan  lain yang berhubungan dengan garis kehidupan yang kita jalani. Perkembangan tahap kedewasaan untuk menyikapi kehidupan secara lebih baik dan positif.
Menerima diri kita apa adanya. Menghargai setiap kelebihan dan kekurangan yang kita miliki. Termasuk segala kelemahan dan keterbatasan dalam menyikapi makna kebijaksanaan. Bukankah antara diri kita dan para guru bijak sekalipun berangkat dari sekolah yang sama? Yaitu kehidupan. Kita mengenal dan merasakan materi pembelajaran yang juga sama. Elemen perasaan manusia tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Sama halnya seperti elemen kehidupan di alam. Ada ketakutan, pertentangan, keragu-raguan, konflik dalam porsi tingkatan yang berbeda. Diri kita tidak lebih lebih rendah ataupun tidak lebih bodoh dari siapapun. Karena pada setiap individu bahkan dalam kebodohanpun manusia memiliki kemampuan yang terpendam.
Manusia menggemgam keinginan dan harapan dan hanya manusia itu pulalah sahabat terbaik bagi dirinya sendiri. Tentu saja dengan tidak melupakan konteks pengaruh lingkungan terhadap eksistensinya. Berpijak pada logika sintetis, dalam keadaan terdesak bahkan menyakitkan sekalipun sebenarnya manusia telah mempunyai solusinya jika ia mampu mengembangkan pemikirannya. Dengan demikian, tentu saja tidak bisa dihindari nilai objektifitas yang dominan. Hanya manusia itu sendirilah yang sebenarnya paling mengerti tentang dirinya.
Tetapi seringkali manusia dijajah  oleh egonya sendiri. Menuntut agar manusia lainnya mau memahami dan mengerti tentang segala keinginannya. Dan jika tak terwujud, timbullah penyiksaan atas jiwa itu. Kesedihan yang mendalam dan pertentangan yang mau tak mau akan hadir tanpa diundang. Manusia yang satu tidak hidup hanya untuk mengerti dan memahami keinginan dan segala hal tentang manusia yang lain begitupun sebaliknya meski sesama manusia harus hidup bersama secara damai. Manusia  akan selalu kecewa karena kepekaan untuk memahami orang lain hanyalah minoritas yang akan tenggelam  dalam lautan ego manusia itu sendiri.
Seharusnya manusia  bertanya kepada dirinya masing-masing, sudahkah ia mengerti dan belajar untuk memahami jiwa manusia yang lain? Jika belum, semestinya segala tuntutan terhadap orang lain itu dipadamkan. Lalu sedikit demi sedikit belajar agar jiwa yang dimiliki tidak terkekang oleh tuntutan-tuntutan terhadap siapapun. Belajar untuk tidak terjebak oleh pola timbal balik dalam persepsi yang dangkal.  
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar